Rabu, 06 Agustus 2014

Segarnya Bisnis Obat di Indonesia

Segarnya Bisnis Obat di Indonesia
Menilik dari sejarahnya, sebenarnya industri farmasi kita berasal dari berkembangnya Pedagang Besar Farmasi ( PBF ) dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita menyaksikan industri farmasi yang memiliki fasilitas manufaktur seperti sekarang ini, sebenarnya hal itu baru berkembang sekitar tahun 1970-an.

Sekarang tantangan berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga mengimbas ke perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor obat, terutama dihadapi oleh kalangan distributor lokal yang memiliki daya saing rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.

Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya 196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1 distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.

Ketidakseimbangan ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian obat. Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang baik) tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas obatnya pun tidak lagi terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup melaksanakan GDP (good distribution practice).

Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.

Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60 pabrik obat menguasai lebih dari 80% total pasar, sedangkan 20% sisanya diperebutkan oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu perbandingan antara perusahaan lokal dan multinasional masih 60 berbanding 40. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk lemahnya skala ekonomi distributornya, sehingga tak heran bila harga obat di Indonesia bisa begitu melangit.

Peningkatan jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat mendirikan PBF sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah, sebaliknya malah berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.

Perusahaan-perusahaan distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh aplikasi TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik terpenuhi, karena volumenya sangat besar, sehingga meski mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan.Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih antara 11-12% dan tergantung pada beberapa faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak mampu bersaing dengan baik.Pada tahun 2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.

Hanya saja, 31 pabrik obat yang berstatus PMA ini tak kurang menguasai sekitar 50% pangsa pasar farmasi nasional. Hal ini masih ditambah lagi dengan terjadinya merjer dan akuisisi sejumlah pemain regional dan global, sehingga semakin menyulitkan perusahaan-perusahaan lokal untuk bersaing di pasar yang diperkirakan sebesar 17 triliun rupiah itu. Belum lagi, kalangan pabrik obat nasional pun masih besar ketergantungannya terhadap impor bahan baku obat mancanegara, yang berarti semakin meningkatkan tekanan terhadap pabrik obat dalam upaya menyediakan obat-obatan yang terjangkau.

Dibukanya pasar AFTA (ASEAN Free Trade Area), yang merupakan harmonisasi perdagangan di kawasan ASEAN, ternyata masih menyisakan persyaratan, seperti pelaksanaan current GMP (c-GMP), diharuskan adanya penelitian terhadap BA-BE Studies (Bio-Availability_Bio-Equivalent) untuk obat-obat tertentu yang akan dipasarkan di negara-negara ASEAN. Hal itu boleh jadi akan memberikan, baik peluang maupun ancaman, bagi industri farmasi di Indonesia.

Pada sisi pandang masyarakat luas ( konsumen), Konsumen obat di Indonesia selama ini tidak pernah mendapat informasi jelas mengenai harga obat. Pasien selalu hanya menerima secarik kertas resep dari dokter —yang tulisannya tak terbaca— kemudian harus menukarkannya dengan obat di apotek dan diharuskan membayar sejumlah uang. Tidak pernah ada perincian harga obat dengan jelas. Dari satu apotik ke apotik lain, harga obat bisa berubah-ubah. Maka tak heran kalau banyak yang lari ke pasar obat bebas alasannya, di sana lebih murah.

Obat dalam pandangan masyarakat merupakan suatu produk sosial yang harus berharga murah dan pihak industri tidak boleh mengambil untung terlalu banyak. Namun apa mau dikata, pada kenyataannya di Indonesia, obat justru suatu produk yang kadang hanya bisa dijangkau oleh lapisan tertentu. Kalaupun ada obat yang ”murah meriah” terbukti tidak semujarab obat yang berharga mahal. Penyakit-penyakit berbahaya yang butuh penanganan khusus seperti kanker justru memerlukan obat impor yang harganya mahal.

India, kendati tergolong negara berkembang sama seperti Indonesia, terdapat sekira 13.000 pabrik farmasi yang mendapat subsidi pemerintah sebanyak 30-40 persen. Jumlah pabrik obat di Indonesia hanya sekira 196 buah, termasuk empat perusahaan milik negara dan 34 perusahaan asing (PMA), sedangkan sisanya merupakan perusahaan swasta lokal.




Dari jumlah ini, 60 perusahaan di antaranya menguasai kurang lebih 84 persen pangsa pasar. Sedangkan perbandingan antara perusahaan obat lokal dan multinasional masih 60 banding 40. Dan total keseluruhan perusahaan farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya tiga persen saja dari total jumlah pabrik obat di seluruh dunia. Gambaran tersebut bisa menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia.

Namun, bukan berarti bahwa industri farmasi established cukup mempertahankan pasar, ingat bahwa persaingan perdagangan bebas tingkat ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi industri farmasi sudah dimulai pada bulan Juni tahun ini. Otomatis perusahaan farmasi lokal harus berani bersaing dengan perusahaan asing yang juga akan mengedarkan produk obatnya di Indonesia. Namun ada kunci- kunci yang harus dipegang oleh perusahaan farmasi agar mampu tetap mampu berkompetisi dan memenangkan persaingan

Kelola Piutang secara efektif

Mengetahui seberapa efektif anda dalam mengelola piutang dagang, sangat penting bagi pengelolaan keuangan perusahaan secara keseluruhan.

Pertanyaan yang sama bisa diterjemahkan sebagai: “seberapa efektif kebijakan kredit yang anda terapkan selama ini sehingga mampu meningkat penjualan di satu sisinya, dan seberapa mampu anda dalam mengkonversikan piutang menjadi kas untuk menopang kelancaran operasional perusahaan, di sisi lainnya.

Dengan kata lain, mengetahui seberapa efektif pengelolaan piutang dagang dalam suatu perusahaan menjawab pertanyaan: seberapa efektif tatakelola keuangan perusahaan dalam mendukung kelancaran operasional perusahaan secara keseluruhan?

Dalam perusahaan berskala besar, tugas pengelolaan keuangan mungkin ditangani oleh bagian keuangan (treasury), tetapi di perusahaan-perusahaan berskala kecil hingga menengah, tugas ini biasanya jatuh ke bagian accounting, termasuk urusan piutang dagang. Sehingga, kemampuan mengelola piutang dagang sangat perlu dikuasai oleh mereka-mereka yang bekerja di kedua bagian ini (treasury dan accounting).

Di bagian accounting itu sendiri, urusan piutang dagang biasanya ditangani oleh bagian khusus yaitu “Accounts Receivable” tentunya di bawah pengawasan chief accounting maupun controller.
Untuk menjawab pertanyaan “seberapa efektif anda dalam mengelola piutang dagang perusahaan” sudah pasti anda perlu melakukan assessment (pengukuran atau pengujian) dengan menggunakan parameter, indikator dan metode tertentu yang bisa mengarahkan anda pada kesimpulan tersebut.

Mengelola Piutang  Secara Efektif

Dalam mengelola piutang dagang, ada dua hal yang paling dihindari:
1. Piutang Tak Tertagih (bad debt) – Yang satu ini memang mimpi buruk paling menakutkan. Perusahaan sesehat apapun akan kolaps bila memiliki bad debt yang tinggi.

2. Piutang Lewat Jatuh Tempo (Overdue Receivable) – Pembayaran yang melewati jatuh tempopun bisa menjadi parasit dapat menggerogoti kesehatan keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Yang manapun terjadi diantara kedua siatuasi tersebut, akan memaksa perusahaan untuk melakukan salah satu diantara ketiga tindakan berikut ini:
  • Mencari pinjaman bank (bank loan) guna menutupi kebutuhannya akan kas, yang sudah pasti disertai beban bunga yang harus ditanggung perusahaan; atau
  • Menurunkan kapasitas perusahaan dalam menghasilkan barang atau jasa—sehingga pendapatan, langsung-atau-tak langsung juga akan tergerus; atau
  • Kombinasi keduanya.
Dengan mindset dasar itu, PBF dan para pengelolanya cenderung untuk MEMAKSIMALKAN usaha-usaha untuk mencegah piutang tak tertagih maupun piutang lewat jatuh tempo, atau mengatasinya bila sudah terlanjur terjadi.

Dua pendekatan yang paling umum dilakukan untuk mencegah piutang tak tertagih dan piutang lewat jatuh tempo, yaitu:

1. Melakukan tindakan penagihan yang agresif – Mengunjungi pelanggan  secara terus menerus— untuk tukar faktur atau proses adm seperti returan.

2. Menerapkan kebijakan kredit yang lebih ketat – Bila di masa lalu menyediakan kredit 37 hari bagi semua pelanggan, untuk mencegah kemungkinan bad debt mungkin perusahaan mempersempit termin pembayaran menjadi hanya 30 hari. Lebih ekstrimnya, mungkin PBF hanya melayani COD (cash on delivery) atau pembelian tunai saja.

Kedua pendekatan tersebut memang sangat ampuh untuk mencegah (atau mengatasi) piutang tak tertagih maupun piutang lewat jatuh tempo. AKAN TETAPI, bila dilakukan secara berlebihan—TANPA memperhitungkan ASPEK LAIN, perusahaan bisa terjebak dalam suatu keadaan yang mungkin samasekali tak pernah mereka duga sebelumnya.

Penerapan kebijakan kredit yang ketat dan tindak penagihan yang agresif, berimplikasi langsunng terhadap penjualan yang pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap pendapatan dan laba-rugi di akhir periode.


TATA KELOLA PIUTANG DAGANG YANG EFEKTIF,

 adalah pengaturan piutang dagang yang MENYEIMBANGKAN antara:
 (a) usaha-usaha untuk mencegah piutang tak tertagih dan piutang lewat jatuh tempo—guna memenuhi kecukupan kas di satu sisinya
 (b) usaha-usaha untuk meningkatkan penjualan—dengan memberikan pengalaman yang nyaman bagi customer dan menyediakan termin pembayaran yang competitive di lingkungan business secara luas di sisi lainnya.

Pertanyaan krusialnya menjadi: apakah tata kelola piutang dagang yang anda terapkan selama ini sudah tergolong efektif atau tidak? Apakah kebijakan kreditnya terlalu ketat atau terlalu longgar?
Untuk mengukur sejauh mana EFEKTIFITAS TATA KELOLA PIUTANG dagang yang telah atau sedang diterapkan, perlu dilakukan assessment seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan. Bagaimana caranya mengukur efektifitas tata kelola piutang dagang?

Ada 2 metode pengujian yang umum dipakai untuk menilai efektifitas tata kelola piutang dagang, yaitu:
  • Rasio Perputaran Akun Piutang Dagang (Accounts receivable turnover); dan
  • Rasio Periode Penagihan Rata-rata (Average collection period)
Menggunakan Rasio Perputaran Piutang Dagang (Accounts Receivable Turnover)

Menggunakan “Rasio Perputaran Piutang Dagang” atau “Accounts Receivable Turnover” artinya, anda sedang mencoba untuk mengetahui: berapa kali, dalam periode tertentu, piutang dagang anda mengalami perputaran. Dengan kata lain, rasio perputaran piutang dagang mengukur berapa kali piutang dagang yang telah jatuh tempo berhasil ditagih, lalu digantikan oleh piutang yang baru.

“Rasio Perputaran Piutang Dagang” dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

Rasio Perputaran Piutang Dagang = Penjualan / Rata-Rata Piutang
Yang dimaksudkan dengan “Penjualan” dalam formula ini adalah: total nilai penjualan untuk periode yang diukur, 1 Jan s/d 31 Des 2014 misalnya. Sudah sangat jelas, tidak ada masalah—anda bisa mengetahui total penjualan dari buku besar “Penjualan.”

Sedangkan “Rata-rata Piutang” adalah: Rata-rata saldo piutang untuk periode yang sama. Menghitung nilai rata-rata ini yang kadang menjebak.
Dalam menghitung rata-rata saldo piutang, terkadang seseorang hanya menggunakan “saldo awal” dan “saldo akhir” piutang, dijumlahkan, lalu dibagi dua. Misalnya: Yang diambil hanya saldo piutang dagang per 31 Januari ditambah saldo piutang dagang per 31 Desember, lalu dibagi dua. Cara ini akan menghasilkan nilai rata-rata piutang yang tidak tepat.
Cara terbaik untuk menghitung nilai rata-rata piutang adalah dengan jalan: menjumlahkan semua saldo piutang disepanjang periode (dari 31 Jan + 28 Feb + 31 Mar…. dan seterusnya hingga 31 Desember), lalu dibagi total bulan—atau 12 jika perusahaan menggunakan periodisasi tahunan.

Contoh Kasus:
Perusahaan  PT. DONNI, di tahun 2013, membukukan nilai penjualan sebesar 250,000,000 dengan saldo piutang dagang per bulan sebagai berikut:

Seperti terlihat di atas, dengan hanya menggunakan saldo awal (per 31-jan) dan saldo akhir (31-Des) saja, anda akan menghasilkan rata-rata saldo piutang sebesar Rp 5,500,000 saja, dan itu samasekali tidak akurat. Sedangkan dengan menjumlahkan semua saldo piutang sepanjang periode anda akan memperoleh rata-rata saldo piutang sebesar Rp 8.875,000, yang lebih akurat dan mendekati kondisi yang sebenarnya.

Nah, berdasarkan informasi tersebut, anda bisa menghitung “Rasio Perputaran Piutang Dagang.” sebagai berikut:
Rasio Perputaran Piutang Dagang = Penjualan / Rata-rata Piutang
Rasio Perputaran Piutang Dagang = Rp 250,000,000/Rp 8,875,000
Rasio Perputaran Piutang Dagang = 28
“Rasio Perputaran Piutang Dagang” sebesar 28 artinya: piutang PT.DONNI rata-rata beputar sebanyak 28 kali pada periode 2012.

Mengkonversikan Perputaran Piutang Ke Periode Penagihan Rata-Rata

Jika tidak terbiasa dengan istilah “perputaran” (banyak koq yang tidak terbiasa dengan istilahyang satu ini), anda bisa mengkonversikan “Rasio Perputaran Piutang Dagang” menjadi angka yang menunjukan jumlah hari yang diperlukan untuk menagih piutang dengan melakukan perhitungan yang disebut dengan “Rasio Periode Penagihan Rata-Rata” (Average Collection Period)—mungkin ini ini lebih mudah dipahami.

“Rasio Periode Penagihan Rata-Rata” dihitung dengan cara: membagi angka 365 atau 360 (jumlah hari dalam setahun) dengan “Rasio Perputaran Piutang”. Jika ditulis dalam bentuk formula, jadinya sebagai berikut:

Periode Penagihan Rata-Rata = 365/ Rasio Perputaran Piutang

Dengan menggunakan contoh sebelumnya, maka periode penagihan rata-rata PT. DONNI untuk tahun 2012 adalah sekitar 13 hari (=365/28). Itu artinya PT. DONNI, rata-rata butuh waktu 13 hari untuk melakukan penagihan piutang di tahun 2012.

Pertanyaannya: Apakah rasio perputaran putang sebanyak 28 kali dalam setahun itu tergolong efektif atau tidak? Apakah dengan periode penagihan rata-rata selama 13 hari itu tergolong efektif atau tidak?

CARA YANG PALING MUDAH untuk mengukur hal ini adalah dengan: membandingkan RASIO SAAT INI dengan RASIO YANG SAMA DI PERIODE SEBELUMNYA (tahun 2011 dalam kasusnya PT.DONNI.)

Nah, jika di tahun 2011, rasio perputaran piutang dagang-nya PT. DONNI hanya 12 kali (atau butuh waktu sekitar 30 hari untuk melakukan penagihan) misalnya, itu artinya rasio perputaran piutang maupun periode penagihan rata-rata PT. DONNI di 2012 jauh lebih baik dibandingkan di tahun 2011.

 Dengan kata lain: perputaran piutang di 2012 lebih sering dibandingkan tahun sebelumnya, dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penagihan lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya.
Pertanyaan selanjutnya: Apakah perputaran yang lebih sering artinya sudah pasti lebih efektif? Apakah periode pangihan yang lebih cepat juga sudah berarti lebih efektif?


TETAPI, percepatan ini biasanya hanya bisa dicapai dengan 2 cara, yaitu

 (a) memperketat kebijakan kredit
 (b) menerapkan tindak penagihan yang lebih agresif—yang sudah pasti akan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap “Penjualan”.

Untuk memastikan hal itu, tentunya anda tidak bisa hanya berandai-andai atau berasumsi. Sebagai seorang akuntan atau orang keuangan, anda sebaiknya melakukan analisa data yang cukup. Salah satu analisa yang bisa dilakukan adalah “Trend Analysis”—dengan cara membandingkan “Penjualan saat ini” dengan penjualan-penjualan tahun sebelumnya—lihat trend-nya SAMA, MENINGKAT atau MENURUN?

Nah jika hasil analisa menunjukan bahwa penjualan anda BAIK-BAIK SAJA, maka bisa dipastikan bahwa rasio perputaran putang dan rasio periode penagihan rata-rata perusahaan anda SUDAH EFEKTIF. Artinya, juga, TATA KELOLA PIUTANG DAGANG yang anda terapkan selama ini sudah efektif
TETAPI, jika hasil analisa menunjukan hal sebaliknya, berarti masih ada banyak hal yang perlu anda lakukan. Kemungkinan penyebab menurunnya penjualan TIDAK SELALU, TIDAK MESTI, ada hubungannya dengan kebijakan kredit maupun cara-cara penagihan yang anda terapkan. Anda juga perlu memeriksa:
  • Waktu penyerahan obat – apakah tepat waktu atau molor-molor?
  • Kualitas pelayanan terhadap pelanggan (diluar penagihan) – Apakah menurun atau tidak?
  • Kualitas produk yang dijual oleh pesaing—apakah mengingkat atau tidak?
  • Kondisi ekonomi makro—apakah membaik atau memburuk?
  • Dan seterusnya.
Dan, diantara kemungkian faktor penyebab tersebut, sekalilagi, bisa jadi kebijakan kredit dan proses penagihan piutang adalah salah satunya.

Cara lain yang bisa dilakukan untuk melakukan pengukuran terhadap efektifitas tata kelola piutang dagang adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan “Benchmarking”—yaitu: membandingkan rasio perputaran piutang anda dengan rasio yang sama, di periode yang sama, dari perusahaan lain yang sejenis. Dari sana anda bisa melihat seberapa bagus anda dalam mengelola piutang dagang—jika dibandingkan dengan perusahaan lain.






 

Selasa, 29 April 2008

TATA NIAGA OBAT DI RS SWASTA

Pertumbuhan rumah sakit terutama swasta sangat pesat apalagi di 2 tahun terakhir banyak sekali bermunculan rumah sakit baru. Menurut data GP Farmasi sampai awal 2008 ini, jumlah keseluruhan rumah sakit yang ada di Indonesia sekitar 1300 rumah sakit dengan berbagai klasifikasi (RSU milik pemerintah, RSU Swasta dan RS Khusus)

Pertumbuhan yang pesat ini berkorelasi dengan meningkatnya kebutuhan orang akan kesehatan yang baik dan semakin sadar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lengkap dan diharapkan dapat terjangkau semua lapisan masyarakat.

Tidak lupa rumah sakit meningkatkan kualitas pelayanan dengan mendapatkan sertifikat Akreditasi, pelaksanaan Total Quality Management, Performance measurement system, dan Audit Hospital. untuk tetap menjaga mutu pelayanan medis berstandar internasional.

Penanganan bisnis inipun bergeser menjadi profit centre oriented sehingga investor rumah sakit akan melakukan strategi agar mendulang keuntungan yang berlimpah.

Gambaran bisnis obat di Indonesia 2006-2007
TAHUN
SALES (dalam Rp Trilyun)
Growth
2006
26.5
2007
29
9.43%
Sumber GP Farmasi

Kontribusi penjualan obat di tiga sektor dalam bisnis Obat di Indonesia ; Rumah Sakit adalah 51% , 46% di Apotik dan sisanya 3 % melalui dispensing dokter (Apotik Panel yang berkerjasama dengan klinik atau praktek dokter)

Tahun 2007 penjualan obat di sektor rumah sakit mencapai Rp 15.Trilyun pertahun.
Atau dengan omset perbulan Rp 1.2 Trilyun ini
Tata Niaga Obat di RS.Swasta

Ada 5 hal yang baru dalam pola baru manajemen bisnis obat di rumah sakit swasta:

1.Standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan kewajiban donasi obat
.
Standarisasi obat atau Formarium pada awalnya adalah untuk mengatur peredaran obat dengan memberikan kebebasan farmasi untuk mempromosikan produk ke komite medik mengenai keunggulan obat agar masuk dalam komposisi obat formarium rumah sakit yaitu tiga jenis obat: satu obat original, dua produk me too dan satu obat generik.

Hal yang menonjol adalah sedikitnya penggunaan obat generik yang masuk standart, kemungkinan harga obat generik belum memenuhi skala ekonomis bagi rumah sakit swasta padahal termasuk obat esensial yang harus ada di setiap layanan kesehatan, sebagai gantinya rumah sakit mengganti obat sejenis yang bermerek yang harganya mahal.

Dengan keharusan membayar setiap obat bermerek maka menciptakan suatu pasar oligopoli karena mengedepankan farmasi yang bisa melakukan hal ini , padahal hampir semua prinsipal farmasi terbentur kode etik global yang mengharamkan cara ini.

2.Sistem Pembelian Group

Pemberian diskon oleh pihak farmasi biasanya berdasarkan kuantitas unit pembelian di sebuah rumah sakit.
semua rumah sakit yang menjadi group mendapat harga yang sama artinya diskon akan sama semua walaupun masing-masing group nilai pembeliannya berbeda-beda.

Sistim yang sangat menguntungkan karena berpatokan kepada diskon terbesar yang didapati oleh salah satu rumah sakit group yang pembelian besar dan menjadi discount di semua group yang dimiliki walau berada di propinsi yang berbeda.


3.Sistem pembelian obat dengan Konsinyasi

Beberapa rumah sakit bahkan rumah sakit pemerintahpun sudah menerapkan sistim ini.
pembelian konsinyasi ke distributor dengan jangka waktu pembayaran 60 hari dan setelah obat laku maka akan diproses pembayaran, jika tidak laku berhak meretur obat .
Jika distributor berberatan dengan konsinyasi, jangan harap prinsipal farmasi dapat mengembangkan pasarnya.

4.Kerjasama dengan Prinsipal farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan memberikan “advance discount” ke Rumah Sakit selama periode tertentu.

Hampir semua rumah sakit swasta sudah menjalankan “kontrak discount dibayar dimuka” ini, setiap pabrikan akan dipanggil oleh manajemen rumah sakit untuk melakukan kontrak obat selama satu tahun dengan membayar uang discount di muka/advance discount.

Menurut sumber dari beberapa rumah sakit terkemuka, system advance discount ini sebuah rumah sakit besar dapat menghimpun dana rata-rata minimal 2.5 milyar pertahun dari kontrak obat.

Dari tabel diatas dapat dilihat sebuah RS.Peluk menerima advance discount dari prinsipal A dan B total Rp 240 juta dengan perjanjian kesepakatan produk prinsipal A dan B akan dikontrak beli perbulan sebesar Rp 100 juta dan pertahuan Rp 1,2 M

5.Resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi Rumah Sakit

Biasanya jika berobat di rumah sakit, pasien akan mendapat resep yang bebas ditebus apakah di rumah sakit tersebut atau di apotik dekat rumah pasien.

Sistim ini sudah dijalankan beberapa RS Swasta, dokter akan meresepkan obat dengan memberikan resep yang hanya bisa dibaca dengan “kode” oleh pihak rumah sakit saja, ada pula yang memberikan kartu setelah berobat untuk mengambil obat di farmasi RS.

tujuan utama memang mengkandangkan resep agar tidak keluar ke apotik disekitar, sungguh ironi bagi pasien berbiaya sendiri yang tentunya harga obat akan ahal disbanding beli di apotik dan juga bagi apotik-apotik diseputaran rumah sakit yang akan mengalami sepi resep pasien.

Dukungan Pemerintah

Trend RS Swasta di Indonesia yang mengekang kebebasan pihak farmasi untuk mengembangkan pasarnya sudah berjalan lama dihampir seluruh RS Swasta di Indonesia.

Bisnis RS Swasta memang hanya dikuasai oleh 5 obat branded saja yang bersedia untuk kerjasama dengan komite medik ditenggarai menganut system oligopoly.

Pasar globalisasi seharusnya memberikan kebebasan untuk bersaing sempurna tidak diterapkan.

Tujuan RS Swasta menerapkan pola ini untuk mendapakan keuntungan besar , dapat lebih cepat mengembangkan rumah sakitnya dan segera balik modal usaha / BEP.

Strategi bisnisnya tidak lagi melihat sebagai institusi kesehatan yang ada etika,  nilai sosial & norma-norma pelayanan masyarakat.

praktek ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan harga obat lokal lebih mahal daripada obat produk luar. Sudah tentu biaya-biaya yang dikeluarkan produsen obat lokal dalam meloby untuk masuk pasar RS Swasta dibebankan ke konsumen yaitu pasien.

Sebetulnya aturan sudah tertulis pada nota kesepakatan antara IDI dengan GP Farmasi dalam tindakan pengobatan yang bebas tanpa kontrak dengan prinsipal tertentu untuk melegalkan pelaksanaan bisnis kesehatan tetapi bagai merapihkan benang kusut, sungguh sulit menerapkan pasar persaingan sehat di Rumah Sakit.

Dari aspek persaingan usaha yang tidak sehat ini, seyogyanya Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Menkeu, MenDag dan Menkes dapat melakukan kebijakan regulasi bisnis rumah sakit yang sehat dan tepat serta menghindari penggunaan obat merek tertentu dengan sistem kontrak dan mengupayakan melakukan etika bisnis yang sehat.

Pemerintah harus segera membenahi sistim tata niaga obat di sektor rumah sakit, jika tidak ada itikad baik maka otomatis industri obat akan amburadul.

Perlu sekali kebijakan publik yang dikeluarkan langsung oleh Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan/Perindustrian dan Menteri Kesehatan untuk pengaturan bisnis obat secara keseluruhan dan terutama di rumah sakit Indonesia yang berlandaskan Ekonomi Pancasila dengan fokus utama persaingan obat secara Pancasila di instansi rumah sakit sehingga menurunkan harga obat secara maksimal.
dalam mengawasi persaingan usaha ini apakah ada pelanggaran UU NO 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

pilihan baik juga untuk mendirikan Rumah Sakit di dekade ini, investasi yang ditanamkan dapat segera BEP dengan pembebanan ke pihak farmasi walaupun segelintir perusahaan farmasi dan rumah sakit pasti dapat untung.
Nah, siapa yang berminat membuka Rumah Sakit?

salam hangat,
DONORA

KONSEP BARU DISTRIBUTOR OBAT

Konsep baru distributor obat

Industri Farmasi memang menjanjikan kue yang besar bagi investor, perkembangan industri farmasi ditandai dengan kebijakan pemerintah melalui Menteri Kesehatan yaitu Regulasi Penurunan harga Obat, Regulasi dicantumkan Harga Eceran Tertinggi (HET) di setiap obat , peningkatan produksi obat generic, pembentukan apotik rakyat di pasar tradisional, pengadaan Obat Murah Rp 1000 dan yang terakhir nota kesepakatan antara IDI dengan GP Farmasi dalam tindakan pengobatan yang bebas tanpa kontrak dengan principal tertentu melalui penulisan resep obat paten dan mencantum obat generiknya dengan tujuan pengaturan obat menghadapi Globalisasi dan menuju INDONESIA SEHAT 2010.

Harapan Pemerintah bahwa Manajemen obat di Indonesia dapat berjalan dengan Pengaturan yang baik, masyarakat dapat mampu membeli obat yang berkualitas dan masyarakat membeli obat asli / tidak palsu.
Industri farmasi di Indonesia ditandai dengan gencanya pihak asing masuk ke dalam bisnis, principal banyak melakukan merger begitupun dengan distributor.seperti sanofi dengan aventis, Roche dengan bayer , bayer dengan Schering dll.

Melihat jaminan yang baik dari pemerintah, Investor asing yang sudah direstui dengan kebijakan Presiden menerima Investasi Asing sebanyak-banyaknya dengan mempermudah akses untuk investasi asing maka merupakan opportunity bagi perusahaan farmasi asing untuk melebarkan sayapnya di bumi pertiwi.

Perusahaan farmasi didalam mendistribusikan produk melalui jasa distribusi atau biasa disebut PBF (Pedagang Besar Farmasi), distributor ada yang dimiliki langsung oleh principal & ada yang berdiri sendiri.

PBF nasional dengan core bisnis adalah distributor obat-obatan dengan tambahan mendistribusikan consumer/Alkes. System keuntungan dari PBF adalah discount fee yang diberikan principal sekitar 3% s/d 15% tergantung kepada product masing-masing, walaupun margin fee kecil tetapi jika principal yang dimilikinya banyak & brand obat ternama semakin PBF keuntungan semakin besar

Fungsi utama perusahaan distributor farmasi adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap pelanggan kesehatan (Rumah Sakit & Apotik) dengan memperhatikan kefektifan & keefesiensi PBF.

Selain itu obat yang didistribusikan oleh PBF resmi sudah pasti obatnya asli, diharapkan seluruh pelanggan kesehatan membeli obat langsung ke PBF Resmi

Pelanggan kesehatan memiliki pola yang berbeda dengan pola pelanggan consumer.
Didalam menangani pelanggan kesehatan diperlukan kepedulian yang tinggi terhadap pelanggan berkaitan dengan kesehatan pasien.

Seluruh jajaran PBF harus memiliki jiwa melayani berkaitan dengan obat yang didistribusikan ke pelanggan kesehatan terutama Rumah sakit terutama product live saving.

Pola Distribusi Obat
Pasien Dokter Medical Representative
Pasien Apotik/RS PBF kirim pesanan
Principal Melihat data laporan sales dari distributor, melakukan follow up ke apotik/RS dokter siapa yang menulis resep

Melihat hal ini , kita dapat mengambil kesimpulan yaitu :

1.Distributor Farmasi sangat tergantung kepada kehebatan principal didalam memuluskan promosi obat ke dokter di pelanggan kesehatan.
Principal Farmasi melakukan create demand dengan melakukan approach ke dokter-dokter.Tak ada resep dokter , tak ada penjualan

2.Persaingan antar farmasi mengakibatkan principal melakukan promosi yang gencar ke dokter sehingga budget promosi dapat mengalahkan budget iklan product consumer.

3.Distributor Farmasi harus focus kepada pelayanan ke pelanggan seperti proses order yang mudah, kecepatan pengiriman, ketepatan orderan, kecepatan proses penukaran barang expired, manajemen proses tagihan pelanggan dan profesional salesman dilapangan.

4.Distributor Farmasi harus menjaga hubungan yang sangat baik dengan principal dengan membantu proses sales dengan baik.semakin hubungan yang harmonis dan principal “tidak selingkuh” maka profit distributor semakin besar.

5.Principal lebih menyukai distributor yang dapat mempermudah akses aktivitas harian.Beberapa principal akan pindah dari distributor lama ke distributor baru jika distributor dapat memuaskan kebutuhannya (akses data, discount fee untuk distributor yang murah, system operasional distributor yang baik).

6.Jika principal kecewa dengan PBF yang menjadi distributornya sedangkan kontrak kerja masih panjang, maka principal akan mencari distributor partner yang baru.

7.Distributor harus efisiensi dalam melakukan operasional. Pemangkasan biaya dapat dilakukan dengan berbagai aspek mulai dari memiliki tenaga outsourching, biaya operasional harian sampai meminimalkan biaya entertainment.



Senin, 28 April 2008

PROFIL Darkha

DARKHA - Semua tentang Penjualan
Tujuan memberikan inspirasi bagi praktisi farmasi , adik-adik mahasiswa saya   agar memiliki pengetahuan terhadap industry farmasi kita.
sumber tulisan didapat dari berbagai sumber dan informasi (pendapat, ide, blog lain, buku, berita  , pengalaman dll)  yang terpenting dapat bermanfaat untuk wawasan dan pengetahuan.

Lulusan Marketing Universitasi Trisakti dan Magister Management Jurusan Marketing Universitas Mercubuana ini juga pernah menjadi penulis di Majalah "Sinar Kesehatan" dan Tabloid "Pharma Bizz" selain itu juga pernah bekerja di sebuah perusahaan riset pemasaran.
saat ini sedang mempersiapkan diri (tentunya dari segi financial dan waktu ) untuk melanjutkan program S3 Management di Universitas Trisakti


Pengalaman bekerja di Perusahaan farmasi yang diawali sebagai MANAGEMENT TRAINNE , Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia dan Pengajar di beberapa Kampus sebagai dosen berpangkat Lektor NIDN (No Induk Dosen Nasional) : 0325117404 sebagai bekal untuk menyampaikan ide dan terobosan-terobosan baru yang segar


Salam hangat,
Donni Noviandi Rafdi