Rabu, 06 Agustus 2014

Segarnya Bisnis Obat di Indonesia

Segarnya Bisnis Obat di Indonesia
Menilik dari sejarahnya, sebenarnya industri farmasi kita berasal dari berkembangnya Pedagang Besar Farmasi ( PBF ) dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita menyaksikan industri farmasi yang memiliki fasilitas manufaktur seperti sekarang ini, sebenarnya hal itu baru berkembang sekitar tahun 1970-an.

Sekarang tantangan berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga mengimbas ke perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor obat, terutama dihadapi oleh kalangan distributor lokal yang memiliki daya saing rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.

Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya 196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1 distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.

Ketidakseimbangan ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian obat. Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang baik) tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas obatnya pun tidak lagi terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup melaksanakan GDP (good distribution practice).

Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.

Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60 pabrik obat menguasai lebih dari 80% total pasar, sedangkan 20% sisanya diperebutkan oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu perbandingan antara perusahaan lokal dan multinasional masih 60 berbanding 40. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk lemahnya skala ekonomi distributornya, sehingga tak heran bila harga obat di Indonesia bisa begitu melangit.

Peningkatan jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat mendirikan PBF sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah, sebaliknya malah berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.

Perusahaan-perusahaan distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh aplikasi TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik terpenuhi, karena volumenya sangat besar, sehingga meski mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan.Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih antara 11-12% dan tergantung pada beberapa faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak mampu bersaing dengan baik.Pada tahun 2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.

Hanya saja, 31 pabrik obat yang berstatus PMA ini tak kurang menguasai sekitar 50% pangsa pasar farmasi nasional. Hal ini masih ditambah lagi dengan terjadinya merjer dan akuisisi sejumlah pemain regional dan global, sehingga semakin menyulitkan perusahaan-perusahaan lokal untuk bersaing di pasar yang diperkirakan sebesar 17 triliun rupiah itu. Belum lagi, kalangan pabrik obat nasional pun masih besar ketergantungannya terhadap impor bahan baku obat mancanegara, yang berarti semakin meningkatkan tekanan terhadap pabrik obat dalam upaya menyediakan obat-obatan yang terjangkau.

Dibukanya pasar AFTA (ASEAN Free Trade Area), yang merupakan harmonisasi perdagangan di kawasan ASEAN, ternyata masih menyisakan persyaratan, seperti pelaksanaan current GMP (c-GMP), diharuskan adanya penelitian terhadap BA-BE Studies (Bio-Availability_Bio-Equivalent) untuk obat-obat tertentu yang akan dipasarkan di negara-negara ASEAN. Hal itu boleh jadi akan memberikan, baik peluang maupun ancaman, bagi industri farmasi di Indonesia.

Pada sisi pandang masyarakat luas ( konsumen), Konsumen obat di Indonesia selama ini tidak pernah mendapat informasi jelas mengenai harga obat. Pasien selalu hanya menerima secarik kertas resep dari dokter —yang tulisannya tak terbaca— kemudian harus menukarkannya dengan obat di apotek dan diharuskan membayar sejumlah uang. Tidak pernah ada perincian harga obat dengan jelas. Dari satu apotik ke apotik lain, harga obat bisa berubah-ubah. Maka tak heran kalau banyak yang lari ke pasar obat bebas alasannya, di sana lebih murah.

Obat dalam pandangan masyarakat merupakan suatu produk sosial yang harus berharga murah dan pihak industri tidak boleh mengambil untung terlalu banyak. Namun apa mau dikata, pada kenyataannya di Indonesia, obat justru suatu produk yang kadang hanya bisa dijangkau oleh lapisan tertentu. Kalaupun ada obat yang ”murah meriah” terbukti tidak semujarab obat yang berharga mahal. Penyakit-penyakit berbahaya yang butuh penanganan khusus seperti kanker justru memerlukan obat impor yang harganya mahal.

India, kendati tergolong negara berkembang sama seperti Indonesia, terdapat sekira 13.000 pabrik farmasi yang mendapat subsidi pemerintah sebanyak 30-40 persen. Jumlah pabrik obat di Indonesia hanya sekira 196 buah, termasuk empat perusahaan milik negara dan 34 perusahaan asing (PMA), sedangkan sisanya merupakan perusahaan swasta lokal.




Dari jumlah ini, 60 perusahaan di antaranya menguasai kurang lebih 84 persen pangsa pasar. Sedangkan perbandingan antara perusahaan obat lokal dan multinasional masih 60 banding 40. Dan total keseluruhan perusahaan farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya tiga persen saja dari total jumlah pabrik obat di seluruh dunia. Gambaran tersebut bisa menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia.

Namun, bukan berarti bahwa industri farmasi established cukup mempertahankan pasar, ingat bahwa persaingan perdagangan bebas tingkat ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi industri farmasi sudah dimulai pada bulan Juni tahun ini. Otomatis perusahaan farmasi lokal harus berani bersaing dengan perusahaan asing yang juga akan mengedarkan produk obatnya di Indonesia. Namun ada kunci- kunci yang harus dipegang oleh perusahaan farmasi agar mampu tetap mampu berkompetisi dan memenangkan persaingan

1 komentar:

Revivalis Kopitalis mengatakan...

Artikel yang sangat membantu riset kami dan sarat dengan pencerahan. Terima kasih Pak Donni. Wassalam