Segarnya Bisnis Obat di Indonesia
Namun, bukan berarti bahwa industri farmasi established cukup mempertahankan pasar, ingat bahwa persaingan perdagangan bebas tingkat ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi industri farmasi sudah dimulai pada bulan Juni tahun ini. Otomatis perusahaan farmasi lokal harus berani bersaing dengan perusahaan asing yang juga akan mengedarkan produk obatnya di Indonesia. Namun ada kunci- kunci yang harus dipegang oleh perusahaan farmasi agar mampu tetap mampu berkompetisi dan memenangkan persaingan
Menilik dari
sejarahnya, sebenarnya industri farmasi kita berasal dari berkembangnya
Pedagang Besar Farmasi ( PBF ) dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita
menyaksikan industri farmasi yang memiliki fasilitas manufaktur seperti
sekarang ini, sebenarnya hal itu baru berkembang sekitar tahun 1970-an.
Sekarang tantangan
berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga mengimbas ke
perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor obat, terutama
dihadapi oleh kalangan distributor lokal yang memiliki daya saing rendah.
Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah perusahaan farmasi dengan jumlah
distributor obat, apotek dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi
perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.
Kondisi industri
farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya
196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada
sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11
distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek.
Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai
skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih
sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio
dimana 1 distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang
ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor. Kondisi ini
pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk
kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak
lagi mampu bersaing.
Ketidakseimbangan
ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian obat.
Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien,
juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat bersaing secara baik. Dampaknya,
obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang baik)
tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas
obatnya pun tidak lagi terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak
sanggup melaksanakan GDP (good distribution
practice).
Berdasarkan
regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya
harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250
distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat
– besar dan kecil.
Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60
pabrik obat menguasai lebih dari 80% total pasar, sedangkan 20% sisanya
diperebutkan oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu perbandingan antara
perusahaan lokal dan multinasional masih 60 berbanding 40. Gambaran ini
menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk
lemahnya skala ekonomi distributornya, sehingga tak heran bila harga obat di
Indonesia bisa begitu melangit.
Peningkatan jumlah
PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat mendirikan PBF
sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang memungkinkan
perusahaan-perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi untuk mendirikan
PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah, sebaliknya malah
berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.
Perusahaan-perusahaan
distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh aplikasi
TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik
terpenuhi, karena volumenya sangat besar, sehingga meski mendapatkan margin
penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan.Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih antara 11-12%
dan tergantung pada beberapa faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini
kemampuan distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak mampu
bersaing dengan baik.Pada tahun 2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan
tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk
obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di antaranya
merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.
Hanya saja, 31
pabrik obat yang berstatus PMA ini tak kurang menguasai sekitar 50% pangsa
pasar farmasi nasional. Hal ini masih ditambah lagi dengan terjadinya merjer
dan akuisisi sejumlah pemain regional dan global, sehingga semakin menyulitkan
perusahaan-perusahaan lokal untuk bersaing di pasar yang diperkirakan sebesar
17 triliun rupiah itu. Belum lagi, kalangan pabrik obat nasional pun masih
besar ketergantungannya terhadap impor bahan baku obat mancanegara, yang
berarti semakin meningkatkan tekanan terhadap pabrik obat dalam upaya
menyediakan obat-obatan yang terjangkau.
Dibukanya pasar AFTA (ASEAN Free Trade Area), yang
merupakan harmonisasi perdagangan di kawasan ASEAN, ternyata masih menyisakan
persyaratan, seperti pelaksanaan current GMP (c-GMP),
diharuskan adanya penelitian terhadap BA-BE Studies
(Bio-Availability_Bio-Equivalent) untuk obat-obat tertentu yang akan dipasarkan
di negara-negara ASEAN. Hal itu boleh jadi akan memberikan, baik peluang maupun
ancaman, bagi industri farmasi di Indonesia.
Pada sisi pandang
masyarakat luas ( konsumen), Konsumen obat di Indonesia selama ini tidak pernah
mendapat informasi jelas mengenai harga obat. Pasien selalu hanya menerima
secarik kertas resep dari dokter —yang tulisannya tak terbaca— kemudian harus
menukarkannya dengan obat di apotek dan diharuskan membayar sejumlah uang.
Tidak pernah ada perincian harga obat dengan jelas. Dari satu apotik ke apotik
lain, harga obat bisa berubah-ubah. Maka tak heran kalau banyak yang lari ke
pasar obat bebas alasannya, di sana lebih murah.
Obat dalam
pandangan masyarakat merupakan suatu produk sosial yang harus berharga murah
dan pihak industri tidak boleh mengambil untung terlalu banyak. Namun apa mau
dikata, pada kenyataannya di Indonesia, obat justru suatu produk yang kadang
hanya bisa dijangkau oleh lapisan tertentu. Kalaupun ada obat yang ”murah
meriah” terbukti tidak semujarab obat yang berharga mahal. Penyakit-penyakit
berbahaya yang butuh penanganan khusus seperti kanker justru memerlukan obat
impor yang harganya mahal.
India, kendati
tergolong negara berkembang sama seperti Indonesia, terdapat sekira 13.000
pabrik farmasi yang mendapat subsidi pemerintah sebanyak 30-40 persen. Jumlah
pabrik obat di Indonesia hanya sekira 196 buah, termasuk empat perusahaan milik
negara dan 34 perusahaan asing (PMA), sedangkan sisanya merupakan perusahaan
swasta lokal.
Dari
jumlah ini, 60 perusahaan di antaranya menguasai kurang lebih 84 persen pangsa
pasar. Sedangkan perbandingan antara perusahaan obat lokal dan multinasional
masih 60 banding 40. Dan total keseluruhan perusahaan farmasi Indonesia
tergolong kecil, hanya tiga persen saja dari total jumlah pabrik obat di
seluruh dunia. Gambaran tersebut bisa menunjukkan betapa lemahnya persaingan
industri farmasi di Indonesia. Namun, bukan berarti bahwa industri farmasi established cukup mempertahankan pasar, ingat bahwa persaingan perdagangan bebas tingkat ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi industri farmasi sudah dimulai pada bulan Juni tahun ini. Otomatis perusahaan farmasi lokal harus berani bersaing dengan perusahaan asing yang juga akan mengedarkan produk obatnya di Indonesia. Namun ada kunci- kunci yang harus dipegang oleh perusahaan farmasi agar mampu tetap mampu berkompetisi dan memenangkan persaingan
1 komentar:
Artikel yang sangat membantu riset kami dan sarat dengan pencerahan. Terima kasih Pak Donni. Wassalam
Posting Komentar