promosi tidak etis yang dilakukan industri farmasi di Indonesia , kini sudah menjadi beban bagi industri farmasi itu sendiri. Hal ini diibaratkan sebagai orang naik macan,”kalau sudah naik macan, susah turunnya, karena begitu turun habislah dia dima kan. Nah sekarang tinggal keberanian turun dari macan”.
Sebetulnya apa yang mendasari terjadinya kondisi yang sudah sangat kronis dan kelewat batas tersebut. Beberapa hal yang mendasari terjadinya masalah tersebut antara lain;
1. Perubahan sistem pasar yang dahulu di akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an didominasi oleh industri farmasi yang jumlahnya belum sebanyak sekarang (seller market), menjadi buyer market dima na jumlah farmasi sekarang lebih dari 200 perusahaan, dengan banyak produk sejenis (me too) yang beredar.
2. Ancaman era pasar bebas, dima na perusahaan famasi nasional PMDN berusaha untuk mendaftarkan dan memasarkan produk me too nya sebanyak-banyaknya, agar segera mendapatkan return on investment yang cepat. Sehingga kecenderungan untuk melakukan kolusi pemasaran dan unethical promotion adalah merupakan jalan pintas yang dapat memberikan hasil dalam waktu singkat, tanpa harus repot membangun market dan demand creation sebagaima na umumnya dilakukan oleh para marketer. Sedangkan bagi PMA yang semakin kewalahan dengan tidak adanya jaminan patent produk di Indonesia , mau tidak mau harus mengikuti pola pemasaran dan distribusi PMDN yang cenderung menggunakan cara yang tidak etis dalam berhubungan dengan pihak medis (dalam hal ini adalah dokter, rumah sakit, instansi kesehatan dll).
3. Perilaku dokter yang masih kental mengikuti kelompok referensi (reference group) sebagai panutan. Kelompok referensi bisa berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Selain keberadaan kelompok referensi ini juga perlu diperhatikan adanya nara sumber (opinion leader), sehingga sering terlihat bila sang guru menggunakan dan menganjurkan merek obat tertentu untuk diresepkan, maka akan jarang terjadi seorang dokter yang masih muda berani menuliskan merek obat lain yang tidak mendapat referensi, kalau tidak ingin mendapat kesulitan dari gurunya.
4. Sistem pembinaan dan pengawasan kepada anggotanya, dari pihak BPOM / DEPKES dan GP Farmasi yang tidak berjalan sebagaima na mestinya, sehingga setiap pelanggaran kode etik pemasaran farmasi etikal yang sudah disepakati dan ditandatangani, tidak ada yang peduli dan tidak ada sanksi yang jelas.
5. Memorandum kesepahaman 1998 (MOU) antara GP Farmasi dan PB IDI untuk sosialisasi masalah kode etik pemasaran farmasi etikal nasional, terhadap anggota IDI tidak mendapat respon. Selain itu juga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) kurang tegas dalam mengingatkan dan mentertibkan dokter yang mentoleransi kondisi yang kronis ini, dan juga aspek solidaritas sesama dokter yang dikukuhkan sebagai saudara kandung sejak jaman Hippocrates membuat langkah MKEK jadi sulit (conflict of interest).
6. Rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman akan medikasi suatu penyakit oleh pasien di Indonesia, sehingga membuat mereka tidak punya daya (low bargaining power) dalam menebus / membayar resep yang diberikan oleh dokter, yang terkadang sangat tidak rasional. Bahkan ada kecenderungan obat – obat yang bukan diindikasikan untuk penyakit tersebut tetaplah diberikan, karena dokter yang bersangkutan sudah terikat kontrak dan mengejar target untuk menuliskan resep suatu produk obat tertentu sejumlah sekian ribu tablet dalam satu bulan.
7. Selain itu kondisi belum diberlakukannya sistem pembatasan harga jual obat di Indonesia serta sistem manajemen kesehatan yang belum tertata dengan baik di Indonesia , juga membuat kondisi tersebut semakin berlarut-larut dan tidak terkontrol. Di negara maju fungsi kontrol dari asuransi kesehatan sangatlah berperan dalam mengontrol pola peresepan obat yang tidak rasional dan merugikan pasien, sehingga membuat dokter harus berhati-hati dalam menuliskan resep.
Melihat kondisi yang sudah sangat kelewat batas, maka timbul rasa keprihatinan yang mendalam terhadap para pasien yang tidak mampu membayar harga obat yang semakin mahal. Hal ini sebagai konsekuensi dari besarnya dana promosi yang digunakan untuk mengontrak dokter dan memenangkan persaingan di kondisi persaingan yang tidak sehat ini, dibebankan ke harga jual produk obat yang pada akhirnya si pasienlah yang harus menanggung semua biaya dan resiko.
Keprihatinan lain yang timbul selain semakin meningkatnya harga obat dan daya beli pasien yang semakin menurun karena krisis ekonomi di Indonesia yang tak kunjung usai, yaitu rasionalitas peresepan yang berdampak pada risiko kesehatan yang sangat mahal, dan bahkan terkadang terjadi malpraktek (praktek kedokteran yang dibawah standar etik dan profesi) yang juga pada akhirnya selalu menempatkan pasien pada posisi yang kalah.
Kemudian yang menjadi pemikiran selanjutnya adalah apa solusi dan langkah kongkrit selanjutnya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki dan “menyembuhkan” kondisi “industrio-medical complex” ini. Beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan antara lain:
1. Keberanian pihak pemerintah dalam hal ini BPOM untuk melakukan penertiban dengan menerapkan kode etik pemasaran obat-obatan etikal. Bahkan dengan risiko harus menghadapi ancaman boikot dari para pelaku industri farmasi, yang rata-rata menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
2. Keseriusan IDI untuk menertibkan anggota-anggotanya untuk menyudahi segala kolusi dan ikatan kontrak serta tidak mentolerir bujukan dan rayuan dari farmasi untuk meresepkan obat tertentu.
3. Pembatasan harga jual obat oleh pemerintah dengan sanksi pencabutan lisensi / registrasi obat bila melanggar, sehingga biaya promosi bisa ditekan dan pasien tidak dibebani dengan harga obat yang mahal.
4. Perbaikan kurikulum pendidikan preskripsi profesi kesehatan, terutama dengan tambahan muatan materi tentang etika.
5. Sertifikasi tenaga penjual lapangan (detailman) untuk menyeragamkan misi promosi dan membekali dengan pengetahuan medis yang memadai dan bukannya mahir dalam negosiasi untuk mengontrak dokter semata.
6. Mendorong tumbuhnya asuransi kesehatan mandiri (independence) yang bebas KKN, dan mempunyai peranan sebagai fungsi kontrol baik kepada dokter maupun pasien.
7. Perlunya kampanye publik yang berisi edukasi kepada awam untuk penatalaksanaan penyakit secara sederhana / swaedukasi.
Dan tentunya masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan, namun semua itu kembali kepada sikap mental para pelakunya sendiri, baik dari dokter maupun industri farmasi. Sebab segala niat baik dan upaya perbaikan itu tidak akan berarti bila tidak didukung oleh kerjasama semua pihak yang terkait; Pemerintah dan Instansi Kesehatan, IDI, GP Farmasi, Asuransi kesehatan, Sistem Kesehatan dan Pasien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar