Kamis, 18 September 2014

Saatnya distributor berevolusi

 Distributor  menghadapi banyak tantangan ke depan. Perusahaan akan bertarung dengan efisiensi dan efektivitas.
Model bisnis dari perusahaan distribusi relatif sederhana. Mereka harus efisien dana dan efektif. Efisiensi untuk menekan biaya dan efektivitas untuk mendongkrak penjualan. Distributor atau agen harus efisien. Maklum, margin yang mereka peroleh hanya sebesar 4-8%. Artinya, peluang untuk mengubah produk yang mereka beli relatif tidak ada. Jadi, mereka akan menikmati margin yang tidak besar. Jasa mereka bisa dianggap seperti komoditi.
Kalau jasa mereka dianggap komoditi dan tidak memberikan nilai tambah, maka pihak produsen atau principal akan berupaya terus untuk mengurangi keuntungan mereka. Di sisi lain, biaya yang harus mereka keluarkan dari tahun ke tahun, akan bertambah. Gaji karyawan akan naik. Biaya transportasi akan naik. Biaya listrik dan operasional lainnya akan naik. Biaya promosi akan naik pula. Bila kenaikan biaya ini kemudian tidak diimbangi dengan besarnya margin kotor, laba perusahaan distribusi akan tergerus.
Perusahaan distribusi juga harus memerhatikan efektivitas. Mereka perlu mencari prospek yang tepat. Selain itu, semua saluran distribusi dan komunikasi yang dipilih harus efektif.
Efektivitas inilah yang kemudian akan menghasilkan penjualan yang lebih baik. Jadi, walau persentase margin kotor perusahaan distribusi tetap, tetapi nilai absolutnya bisa ditingkatkan dengan menaikkan tingkat penjualan yang melebihi kenaikan biaya distribusi.
Jadi, kata para distributor, model bisnis dari perusahaan distribusi sederhana! Ibaratnya, mereka seperti pedagang saja yang hanya memberikan nilai tambah dalam menjual. Tidak ada produk yang diolah dan tidak ada pelayanan bernilai tinggi yang mereka berikan kepada pelanggan.
Evolusi dan Revolusi Perubahan
Justru inilah inti permasalahan dari pelaku bisnis distribusi. Perubahan makro, teknologi, industri, persaingan, dan pelanggan sudah semakin besar. Seharusnya, distributor mesti mulai melakukan perubahan strategi dan desain perusahaan distribusi mereka.
membatasi perubahan dari tiga aspek saja, yaitu perubahan pelanggan, produk, dan proses penjualan.
Pertama, pelanggan sudah mengalami perubahan. Pelanggan dari distributor adalah para outlet yang bisa terdiri dari modern (rumah sakit, apotik group dan subdist)  atau tradisional.
Pelanggan-pelanggan ini mengalami konsolidasi dan diversifikasi. pelanggan modern semakin besar. Mereka semakin memiliki kekuatan untuk menekan distributor. Mereka membutuhkan solusi distribusi. Pengiriman yang cepat, harga yang murah, dan stok yang just in time.
Diversifikasi juga semakin luas. Jenis-jenis outlet semakin beragam. Akibatnya, pelanggan ini harus disegmentasi lebih tajam. Bila demikian, salesman juga harus dibedakan untuk melayani segmen pelanggan yang berbeda. Sebagian sales force harus di upgrade atau diganti dengan account manager dan sebagian menjadi segmen specialist.
Ada pelanggan yang sangat besar order size-nya dan ada ratusan ribu outlet yang nilai pengembaliannya relatif kecil.
Perubahan kedua adalah dalam hal produk. Produk semakin banyak, bervariasi, dan semakin inovatif. Distributor semakin banyak memiliki principal atau dari principal yang sama, memiliki produk yang semakin banyak. Salesman sudah mulai merasa bandwidth-nya terlewati. Sangat sulit bagi mereka untuk menguasai pengetahuan produk dengan baik. Juga,
produk yang semakin banyak membuat salesman tidak mampu membawa semua produk. Mereka hanya akan fokus kepada fast moving obat dan kurang memerhatikan produk baru.
Di industri farmasi, fragmentasi produk ini menjadi problem yang besar, produk-produk farmasi cenderung lebih kompleks.
Dimensi ketiga adalah proses atau aktivitas dalam penjualan. Kompleksitas dari proses penjualan termasuk yang paling cepat. Perusahaan-perusahaan distribusi yang sudah siap bertransformasi, biasanya melakukan perubahan dalam hal ini. Mereka mengubah peran salesman.
Sebagian tugas salesman hanya melakukan pengambilan order. Dengan cara ini, perusahaan menjadi efisien. Untuk pekerjaan mencari prospek, bisa diserahkan ke tim yang lain. Demikian pula pekerjaan administrasi dan penanganan keluhan pelanggan, juga ditangani oleh divisi khusus.
Bagaimana perusahaan distribusi merespons perubahan ini? Prinsip yang dipegang tetap sama. Harus efisien dan efektif. Supaya efisien, salesman dibuat generalist saja. Mereka membawa semua produk, melayani semua pelanggan, tetapi areanya terbatas. Jadi, biaya transportasi menjadi lebih kecil.



Distributor dituntut untuk terus berinovasi menambah value agar posisinya semakin aman. Distributor yang hanya fokus kepada selling akan menjadi barisan pertama yang akan tergilas di masa mendatang.
Perubahan radikal pertama adalah mengubah channel. Salesman, dengan berat hati, harus dirombak peran dan mungkin juga jumlahnya.
Perubahan radikal kedua, yang masih berhubungan dengan pertama adalah teknologi internet. Efisiensi yang ditawarkan sungguh luar biasa, bisa hanya sekitar 2% hingga 10% saja. Pada titik tertentu, saat e-channel semakin besar, maka distributor hanya perlu gudang-gudang sebagai titik dan logistik untuk distribusi.
Perubahan radikal ketiga adalah masalah yang berhubungan dengan service delivery, membangun relationship dan membangun merek. Distributor yang aman posisinya adalah distributor yang mengambil peran dari pihak produsen. Mereka ikut membangun merek. Mereka juga memiliki nilai tambah melalui pelayanan delivery. Mereka juga harus terlibat dalam proses membangun relationship dengan para pelanggannya.
Distributor yang sanggup memerankan peran ini berada di posisi aman.
Di masa mendatang, sebagian distributor kemudian mengubah bisnis modelnya lebih radikal. Mereka kemudian masuk ke bisnis ritel. Ini perubahan radikal yang keempat.
Sebagian perusahaan sudah melakukan perubahan bisnis model ini dan sukses. Ini akan menjadi dorongan buat distributor lain untuk melakukan langkah serupa. Konflik dengan pelanggan mereka yang juga ritel akan menjadi pertimbangan yang tidak mudah

Jumat, 12 September 2014

Selamat datang MEA 2015





 Kita tau industri farmasi merupakan industri yang unik dan menarik karena diatur secara ketat, baik secara Nasional maupun Internasional (seperti registrasi obat, cara produksi obat yang baik/CPOB, distribusi dan perdagangan produk yang dihasilkan).


Selain itu Industri Farmasi adalah industri berbasis riset yang selalu memerlukan inovasi, karena usia hidup obat relatif singkat ( lebih kurang 25 tahun) dan sesudah itu akan ditemukan obat generasi baru yang lebih baik, lebih aman dan lebih efektif (fenomena merger beberapa perusahaan farmasi raksasa dunia , seperti Glaxo SmithKline -Becheem, Aventis, Novartis Biochemie, Roche-Bayer, dll).


pada tahun 2015 besok akan dimulai perdagangan bebas asean (MEA) yang artinya penyetaraan perdagangan di lingkungan asean, tenaga kerja pun di setarakan antar negara-negara asean. Artinya peluang tenaga kerja dari negara-negara asean bebas keluar masuk Indonesia, begitu sebaliknya, para tenaga kerja Indonesia juga dapat bekerja bebas di negara-negara asean.

Dan lebih lagi Indonesia menempati peringkat 1 dalam jumlah penduduk terbanyak di Asean, artinya negara lain melirik Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial. Pertanyaan yang mendasar, apakah kita sudah mampu & capable untuk bersaing dengan sarjana-sarjana dari negara asean?

Lalu hubungannya MEA dengan industri farmasi adalah meningkatnya ekspansi produk-produk obat dan Ancaman Produk Impor pada Pasar Domestik.

Disini Lanskap Persaingan Industri Farmasi Berubah dengan Dinamika yang Tinggi . Dengan adanya MEA di tahun 2015, maka sejatinya berlaku prinsip ‘Semua harus Sama’ antar negara di Asean. Untuk urusan obat sendiri sudah ada regulasinya menurut PPWG (Pharmaceutical Product Working Group). Jadi melalui PPWG inilah semua standar2 tentang obat di sepakati. Beberapa yang telah dibahas dalam PPWG adalah ACTR/ACTD (standar dan persyaratan registrasi obat), ASEAN Guidelines (Stability; validasi proses/MA ; BA/BE), MRA on GMP Inspection, MRA on BE Study Report Format (tahap awal), PMAs (Post Market Alert System).

 Dengan adanya hal tersebut, setiap industri farmasi mulai melakukan penyesuaian dan peningkatan kualitas di setiap divisinya. Divisi apa saja yang dapat dimasuki Apoteker di industri farmasi?
1. Produksi -> bertanggungjawab atas terselenggaranya pembuatan obat agar obat tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan pelaksanaan CPOB, dalam batas waktu dan biaya produksi yang ditetapkan.

2. QC (kontrol kualitas) -> adalah aktivitas yang menentukan accepatablility or unaccepatability suatu produk dan ditentukan dengan membandingkan produk terhadap spesifikasi awal yang ditentukan sebelum produk tersebut di buat. Divisi ini bertanggung jawab terhadap penggunaan metode uji untuk menganalisis suatu produk.

3. QA (kontrol mutu) -> merupakan aktivitas yang akan menentukan bagaimana tugas Quality Control akan dilakukan, kemudian melakukan verifikasi bahwa tugas tersebut telah dilakukan dengan tepat.

4. Reggulatory affair (RA) -> tanggung-jawab utama RA adalah persiapan dan presentasi pendaftaran dokumen untuk lembaga regulator (pemerintah) untuk mendapatkan dan mempertahankan izin produk-produk yang bersangkutan. RA perlu untuk melacak perubahan undang-undang di suatu negara sehingga perusahaan dapat memasarkan produk mereka sesuai dengan Undang2 yang berlaku.

5. Business development -> bertanggung jawab dalam pengembangan bisnis produk

6. marketing -> bertanggung jawab dalam keseluruhan aktivitas bisnis yang terkait dengan penjualan dan pemberian layanan kepada konsumen

7. Riset n development (R n D) -> Bertanggung jawab dalam pengembangan produk baru sesuai dengan permintaan marketing, efisiensi biaya produksi, memperbaiki formula obat, dan pengembangan sarana penunjang yang dibutuhkan untuk kelancaran produksi.

8. PPIC (Production Planning Inventory Control) ->bertugas merencanakan jadwal produksi dan menjamin produksi berjalan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.

9. Warehouse and Distribution -> bertugas merencanakan, memonitor, mengevaluasi, serta mengkoordinir kegiatan pemenuhan ketetapan CPOB di gudang dan mengkoordinir penerimaan pesanan dari distributor serta pengirimannya ke distributor

10. Quality Assurance Service -> bertanggung jawab dalam menangani complaint, product recall, return product, Annual product review (APR) dan penyimpangan/deviasi.

siap tidak siap industry farmasi harus menyongsong MEA 2015 dengan terobosan

Kamis, 11 September 2014

era nya E purchasing obat

Procurement atau pengadaan merupakan aktifitas rutin yang dilakukan setiap instansi, termasuk swasta. Secara umum, pengadaan pemerintah dan swasta dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Tender
  2. Penunjukan langsung
  3. Pembelian langsung (purchasing)
SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) hanya mengadopsi pengadaan secara tender umum, karena ini yang lazim digunakan di pemerintahan. Sebenarnya, sebagian pengadaan barang/jasa baik swasta maupun pemerintah, lebih efisien dan cepat jika menggunakan metode purchasing atau pembelian langsung. Metode ini sesuai untuk pengadaan barang yang memiliki spesifikasi yang jelas, misalnya
  • kendaraan bermotor
  • obat-obatan
  • peralatan perkantoran
  • jasa ekspedisi
Pengadaan melalui pembelian langsung pasti memerlukan waktu lebih cepat namun ada potensi besar untuk tidak terjadi persaingan yang sehat.

Pembelian secara elektronik (e-purchasing) membawa manfaat besar dalam hal mempercepat proses pengadaan dan memberikan harga lebih efisien. Untuk membangun sistem e-purchasing diperlukan adanya:
  1. Electronic Catalog. Untuk katalog memerlukan standarisasi barang/jasa. Penyelenggara E-catalog dapat mengacu ke standar yang sudah ada.
  2. Institusi penyelenggara e-purchasing.
  3. Regulasi yang menaungi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Regulasi ini mencakup juga kontrak payung (framework contract) antara pembeli dan penjual. Di pemerintahan, pembeli adalah instansi-instansi pemerintah pusat maupun daerah. Framework contract dapat dilakukan antara supplier dengan salah satu instansi pusat untuk mewakili seluruh pembeli atau pengguna jasa.
  4. Database yang besar dan selalu terbaru (uptodate) tentang barang/jasa. Database ini sebaiknya terintegrasi dengan sistem di penyedia barang/jasa sehingga dapat diketahui stok dari barang yang dicantumkan di dalam sistem.

E-Purchasing di Instansi Pemerintah

E-purchasing dapat dilakukan di instansi pemerintah melalui regulasi.

Di dalam draf Perpres Pengadaan Barang/Jasa pengganti Keppres 80 tahun 2003,  adanya e-purchasing. Untuk mewujudkannya masih memerlukan beberapa langkah lagi seperti dibahas sebelumnya. Implementasi dapat dilakukan secara bertahap dan memerlukan strategi karena ada efek samping yang cukup besar, salah satunya yaitu terpotongnya jalur distribusi.

Sebelum ada regulasi dan standarisasi maka e-purchasing tidak dapat diterapkan.

Senin, 08 September 2014

Industri farmasi era BPJS


Melihat pertumbuhan yang baik di sektor farmasi belakangan ini merupakan prestasi yang patut disyukuri. Sebagian besar perusahaan farmasi menikmati iklim perekonomian yang cukup kondusif. Pasar tumbuh semakin baik dengan meningkatnya daya beli masyarakat secara umum.
Bahkan  dalam tiga bulan terakhir pasar farmasi domestik tumbuh mencapai 14-15%.

melihat melalui bingkai yang besar dan memandang situasi dan perkembangan di sektor kesehatan, dalam kepentingan banyak pihak, baik dari sisi legislatif, eksekutif dan yudikatif.

melihat upaya-upaya pemerintah dalam setiap departemen, hubungan antar departemen, melihat bagaimana hubungan pusat dengan daerah, dan mengkaitkannya dengan sektor kesehatan dan farmasi, meskipun sebagian besar dalam bingkai besar (makro).

Ini yang akhirnya membuat lebih kompleks bagaimana memandang dan menyikapi perkembangan situasi di sektor kesehatan khususnya farmasi.

bisa melihat bagaimana upaya pemerintah memperjuangkan kepentingan masyarakat. Salah satu contoh JKN atau BPJS .

ini adalah pandangan pemerintah di area legislatif dalam memperjuangkan kemakmuran masyarakat, dalam kajian-kajian dan analisa makro ekonomi untuk menyeimbangkan anggaran belanja pemerintah. Sekarang ini di Indonesia sedang muncul kebangkitan nasional. Kalau beberapa tahun lalu banyak perusahaan dalam negeri diambil alih oleh perusahaan perusahaan asing, sekarang ada tren perusahaan lokal mengambil alih kembali.

Dalam konteks kebangkitan nasional ini juga kita bisa melihat saat Komisi IV menolak keras keinginan Kementerian Kesehatan, membuka kepemilikan saham asing hingga 100% terhadap perusahaan farmasi lokal. Dari sini kita juga melihat perkembangan bahwa setiap rencana kebijakan pemerintah akan selalu dikonsultasikan dengan wakil rakyat.
 
harga produk obat di Indonesia tidak mahal. Dengan demikian sebenarnya saya melihat dari beberapa sudut pandang, di sisi lain harus memperjuangkan kepentingan komunitas usaha farmasi, tapi saya juga harus melihat secara makro bahkan secara pribadi merasa bahwa biaya kesehatan makin lama makin mahal. Dari sudut kepentingan inilah, saat ini keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil semakin menguat.

Ini kenyataan yang dihadapi oleh Indonesia, dan akan mewarnai perkembangan kebijakan pemerintah di sektor farmasi  tahun 2014, yang perlu menjadi perhatian utama kita. Karena sebagian besar merupakan tantangan yang akan dihadapi industri farmasi dalam waktu dekat.

Yang menjadi perhatian khusus adalah perkembang-an regulasi sektor industri farmasi sekarang. Karena cepat atau lambat, suka atau tidak suka kebijakan tentang pelaksanaan GMP yang tidak dapat ditunda lagi, meskipun terjadi tarik menarik dari berbagai kelompok, industri yang besar setuju, sementara industri yang menengah kecil merasa berat.

Sehingga seringkali industri farmasi yang kecil-kecil seperti di Bandung, Semarang, Surabaya ini merasa GP Farmasi Pusat ini, terutama Komite Bidang Industri hanya memihak pada kepentingan sendiri.

Selain GMP, kedepan kita dihadapkan dengan agenda dari BPOM yakni PIC/S (The Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme).

 Benar dikatakan bahwa regulasi PIC/S itu terkait dengan kepentingan BPOM. Jadi yang diperiksa adalah kualitas dan kompetensi dari inspektor yakni BPOM. Sebagai inspektor harus memenuhi syarat untuk memeriksa pabrik. Bukan pada sumber daya manusianya tetapi pada hasil pemeriksaan pada industrinya, yang pada akhirnya berdampak pada industri.

Pada awalnya BPOM akan mengajukan beberapa industri untuk diperiksa. tentu akan dipilih pabrik yanng telah memenuhi syarat GMP. Tetapi pada periode berikutnya, tim inspeksi PIC/S akan melakukan pemeriksaan secara random. Jika saat itu ditemukan sejumlah industri tidak memenuhi syarat maka status dari PIC/S itu akan gugur. Jadi kepentingan BPOM mendorong industri farmasi di semua level, mutlak mematuhi persyaratan GMP itu.

Tantangan lain bagi industri farmasi Indonesia adalah BPJS / kebijakan asuransi kesehatan nasional yang akan meng-cover seluruh masyarakat Indonesia. asuransi Sudah  berlaku per 2014 maka kita akan memasuki era yang disebut 'low price low profit', artinya penetapan harga obat itu akan menggunakan cara yang sangat sederhana. Dan yang pasti itu akan membatasi margin keuntungan. Ambil contoh, kalau kita mengikutsertakan obat kita pada BPJS itu, misalnya dengan memotong sebesar 60%, kira-kira sebesar itu harga jual obatnya dalam daftar obat BPJS. Konsekuensinya adalah, kita harus melipat gandakan penjualan agar bisa mengejar harga.

.
Masalahnya adalah bahwa pada awal berjalannya BPJS itu daftar harga itu sudah berlaku. Tetapi penjualan obat sesuai penulisan resep akan mengikuti perkembangan jangkauan dari layanan BPJS itu sendiri yang tentu membutuhkan tahapan dan waktu yang tidak singkat.

Selisih periode waktu ini bisa menjadi sangat rawan. Sementara harga sudah turun, tetapi volume penjualan tidak beranjak naik, bahkan tidak tumbuh sama sekali. Kalau perkembangan coverage layanan BPJS itu memakan waktu terlalu lama, bisa dipastikan industri tidak akan mampu bertahan, dan colapse.

Jadi itu sebagian dari tantangan di sektor industri dalam waktu dekat, yang perlu diwaspadai.
Kalau kita melihat peluang, tentu saat ini lebih baik, karena kebutuhan makin besar, jumlah penduduk makin besar, ekonomi tumbuh semakin baik. Dua tiga bulan terakhir 2013 ini omset farmasi ini luar biasa. Pasar farmasi domestik tumbuh 14-15%, sementara ekonomi tumbuh 5,5% setiap tahunnya.

Kamis, 28 Agustus 2014

Carut marut promosi farmasi

 
promosi tidak etis yang dilakukan industri farmasi di Indonesia, kini sudah menjadi beban bagi industri farmasi itu sendiri. Hal ini diibaratkan sebagai orang naik macan,”kalau sudah naik macan, susah turunnya, karena begitu turun habislah dia dimakan. Nah sekarang tinggal keberanian turun dari macan”.

Sebetulnya apa yang mendasari terjadinya kondisi yang sudah sangat kronis dan kelewat batas tersebut. Beberapa hal yang mendasari terjadinya masalah tersebut antara lain;
 
1. Perubahan sistem pasar yang dahulu di akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an didominasi oleh industri farmasi yang jumlahnya belum sebanyak sekarang (seller market), menjadi buyer market dimana jumlah farmasi sekarang lebih dari 200 perusahaan, dengan banyak produk sejenis (me too) yang beredar.
 
2. Ancaman era pasar bebas, dimana perusahaan famasi nasional PMDN berusaha untuk mendaftarkan dan memasarkan produk me too nya sebanyak-banyaknya, agar segera mendapatkan return on investment yang cepat. Sehingga kecenderungan untuk melakukan kolusi pemasaran dan unethical promotion adalah merupakan jalan pintas yang dapat memberikan hasil dalam waktu singkat, tanpa harus repot membangun market dan demand creation sebagaimana umumnya dilakukan oleh para marketer. Sedangkan bagi PMA yang semakin kewalahan dengan tidak adanya jaminan patent produk di Indonesia, mau tidak mau harus mengikuti pola pemasaran dan distribusi PMDN yang cenderung menggunakan cara yang tidak etis dalam berhubungan dengan pihak medis (dalam hal ini adalah dokter, rumah sakit, instansi kesehatan dll).
 
3. Perilaku dokter yang masih kental mengikuti kelompok referensi (reference group) sebagai panutan. Kelompok referensi bisa berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Selain keberadaan kelompok referensi ini juga perlu diperhatikan adanya nara sumber (opinion leader), sehingga sering terlihat bila sang guru menggunakan dan menganjurkan merek obat tertentu untuk diresepkan, maka akan jarang terjadi seorang dokter yang masih muda berani menuliskan merek obat lain yang tidak mendapat referensi, kalau tidak ingin mendapat kesulitan dari gurunya.
 
4. Sistem pembinaan dan pengawasan kepada anggotanya, dari pihak BPOM / DEPKES dan GP Farmasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga setiap pelanggaran kode etik pemasaran farmasi etikal yang sudah disepakati dan ditandatangani, tidak ada yang peduli dan tidak ada sanksi yang jelas.
 
5. Memorandum kesepahaman 1998 (MOU) antara GP Farmasi dan PB IDI untuk sosialisasi masalah kode etik pemasaran farmasi etikal nasional, terhadap anggota IDI tidak mendapat respon. Selain itu juga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) kurang tegas dalam mengingatkan dan mentertibkan dokter yang mentoleransi kondisi yang kronis ini, dan juga aspek solidaritas sesama dokter yang dikukuhkan sebagai saudara kandung sejak jaman Hippocrates membuat langkah MKEK jadi sulit (conflict of interest).
 
6. Rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman akan medikasi suatu penyakit oleh pasien di Indonesia, sehingga membuat mereka tidak punya daya (low bargaining power) dalam menebus / membayar resep yang diberikan oleh dokter, yang terkadang sangat tidak rasional. Bahkan ada kecenderungan obat – obat yang bukan diindikasikan untuk penyakit tersebut tetaplah diberikan, karena dokter yang bersangkutan sudah terikat kontrak dan mengejar target untuk menuliskan resep suatu produk obat tertentu sejumlah sekian ribu tablet dalam satu bulan.
 
7. Selain itu kondisi belum diberlakukannya sistem pembatasan harga jual obat di Indonesia serta sistem manajemen kesehatan yang belum tertata dengan baik di Indonesia, juga membuat kondisi tersebut semakin berlarut-larut dan tidak terkontrol. Di negara maju fungsi kontrol dari asuransi kesehatan sangatlah berperan dalam mengontrol pola peresepan obat yang tidak rasional dan merugikan pasien, sehingga membuat dokter harus berhati-hati dalam menuliskan resep.

Melihat kondisi yang sudah sangat kelewat batas, maka timbul rasa keprihatinan yang mendalam terhadap para pasien yang tidak mampu membayar harga obat yang semakin mahal. Hal ini sebagai konsekuensi dari besarnya dana promosi yang digunakan untuk mengontrak dokter dan memenangkan persaingan di kondisi persaingan yang tidak sehat ini, dibebankan ke harga jual produk obat yang pada akhirnya si pasienlah yang harus menanggung semua biaya dan resiko.

Keprihatinan lain yang timbul selain semakin meningkatnya harga obat dan daya beli pasien yang semakin menurun karena krisis ekonomi di Indonesia yang tak kunjung usai, yaitu rasionalitas peresepan yang berdampak pada risiko kesehatan yang sangat mahal, dan bahkan terkadang terjadi malpraktek (praktek kedokteran yang dibawah standar etik dan profesi) yang juga pada akhirnya selalu menempatkan pasien pada posisi yang kalah.

Kemudian yang menjadi pemikiran selanjutnya adalah apa solusi dan langkah kongkrit selanjutnya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki dan “menyembuhkan” kondisi “industrio-medical complex” ini. Beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan antara lain:
1. Keberanian pihak pemerintah dalam hal ini BPOM untuk melakukan penertiban dengan menerapkan kode etik pemasaran obat-obatan etikal. Bahkan dengan risiko harus menghadapi ancaman boikot dari para pelaku industri farmasi, yang rata-rata menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
 
2. Keseriusan IDI untuk menertibkan anggota-anggotanya untuk menyudahi segala kolusi dan ikatan kontrak serta tidak mentolerir bujukan dan rayuan dari farmasi untuk meresepkan obat tertentu.
 
3. Pembatasan harga jual obat oleh pemerintah dengan sanksi pencabutan lisensi / registrasi obat bila melanggar, sehingga biaya promosi bisa ditekan dan pasien tidak dibebani dengan harga obat yang mahal.
 
4. Perbaikan kurikulum pendidikan preskripsi profesi kesehatan, terutama dengan tambahan muatan materi tentang etika.
 
5. Sertifikasi tenaga penjual lapangan (detailman) untuk menyeragamkan misi promosi dan membekali dengan pengetahuan medis yang memadai dan bukannya mahir dalam negosiasi untuk mengontrak dokter semata.
 
6. Mendorong tumbuhnya asuransi kesehatan mandiri (independence) yang bebas KKN, dan mempunyai peranan sebagai fungsi kontrol baik kepada dokter maupun pasien.
 
7. Perlunya kampanye publik yang berisi edukasi kepada awam untuk penatalaksanaan penyakit secara sederhana / swaedukasi.

Dan tentunya masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan, namun semua itu kembali kepada sikap mental para pelakunya sendiri, baik dari dokter maupun industri farmasi. Sebab segala niat baik dan upaya perbaikan itu tidak akan berarti bila tidak didukung oleh kerjasama semua pihak yang terkait; Pemerintah dan Instansi Kesehatan, IDI, GP Farmasi, Asuransi kesehatan, Sistem Kesehatan dan Pasien

sukses launching obat baru




Launching Produk Obat Baru: Apa yang perlu diperhatikan?
Tantangan terbesar seorang product manager untuk obat ethical  adalah bilamana dia berhasil melahirkan suatu produk baru. Ibarat seorang ibu yang sedang dalam proses melahirkan seorang bayi, maka peranan seorang produk manager mulai saat produk baru tersebut diregistrasikan dan siap produksi sampai dengan terjadinya resep ulang dari para dokter.

sekarang pertanyaannya adalah bagaimana mempersiapkan, melakukan launching dan analisa pasca launch yang harus dilakukan.

Beberapa tahapan langkah yang dilakukan antara lain:
1. Pre marketing launching activity
2. Launching plan
3. Launching activities
4. Post launching evaluation

Sekarang kita coba cermati satu persatu tahapan tersebut.

Pre marketing
Merupakan rangkaian aktifitas yang dilakukan untuk meningkatkan awareness produk baru, bahkan bila perlu dilakukan edukasi market terlebih dahulu, tertutama untuk para opinion leader (guru besar, kep.bagian di rumah sakit)
Program Edukasi bisa dilakukan berupa RTD (ROUND TABLE DISCUSSION)/mini simposium untuk para opinion leader dlm jumlah terbatas.
clinical trial fase 4 study, mengirimkan beberapa speaker/opinion leader ke acara ilmiah yang topiknya mendukung ke obat baru tsb, atau mendatangkan pembicara ahli tentang obat baru tsb dari luar negeri untuk sharing information dengan para opinion leader.
Program edukasi ini dilakukan dengan cara pyramidal approach, yang artinya level puncak pyramid yaitu para OPINION LEADER DOCTOR'S dulu,
kemudian level tengah pyramid, yaitu para dokter spesialis/MARKET LEADER DOCTOR'S dan kemudian baru masuk ke level bawah dari pyramid yaitu para GP,
dengan obyektif agar bila ada level GP yang ingin konsultasi tentang farmakodinamik dan clinical experience ke senior mereka atau ke para konsultan, maka senior mereka (Specialist / OPINION LEADER DOCTOR'S) sudah aware tentang hal tersebut karena mereka sudah tahu terlebih dahulu.

Launching Plan
Merupakan tahapan yang critical dalam menentukan keberhasilan launching suatu produk baru, karena tampilan data finansial dan estimasi sales harus ditampilkan beserta dengan prakiraan biaya promosi yang diperlukan utk boost launching produk baru tsb.
Merupakan hal yang harus diperhatikan bahwa Launching Plan tersebut harus sinergi dengan marketing plan yang ada, untuk memudahkan proses monitoring dan evaluasi keberhasilannya.
Dalam plan ini disertakan juga rencana utk PR (Public Relation) programnya apakah akan hire Event Organizer independent atau melakukan sendiri program PR tsb.
namun harus diingat kode etik promosi obat ethical yang melarang farmasi utk tidak boleh expose brand name ke publik non medis, untuk itu perlu diupayakan sisi safety dari product exposurenya agar terhindar dari sanksi BPOM.

Launching Activities
Berdasarkan pertimbangan budget dan manpower, maka aktifitas launching dapat dilakukan dengan beberapa macam.a.l.:
a. 1 launching besar di kota besar kemudian diikuti dibeberapa kota kecil sebagai snow ball effectnya
b. Beberapa launching di kota kecil baru kemudian diakhiri dengan big/grand launch di kota besar
c. Eksklusif launching utk beberapa/dokter selektif dibeberapa center
d. Bilamana dilakukan di daerah, maka sebaiknya keterlibatan dokter setempat sebagai pembicara pendamping atau moderator sangatlah diperlukan sebagai endorser/local support, karena mereka biasanya lebih didengar di komunitas lokal sebagai figur panutan.

Post launching evaluation
Penilaian sukses tidaknya proses launching bisa dilihat dari beberapa parameter evaluasinya: a.l.:
1. Jumlah peserta yang hadir saat acara ilmiah
2. Jumlah repeat order obat dr apotik ke distributor
3. Hasil pengisian form PMS (Post Marketing Surveillance) baik oleh dokter peresep ataupun komentar pasien.
4. Hasil interview dengan beberapa responden dokter peserta launching.

Namun terlepas dari itu semua, sukses tidaknya launching obat baru bergantung dari kekompakan dan sinergi kerja dari product manager, sales manager, medical manager dan dukungan dari distributor untuk spreading barang ke semua apotik rujukan/panel.

Jumat, 22 Agustus 2014

e catalog obat merepotkan?

   
Dalam website konsultasi LKPP tertanggal 06 April 2013, 06:54 WIB, menjelaskan hal sebagai berikut:
  • Untuk pengadaan obat dan alat kesehatan yang sudah tersedia di E-catalog dapat dilakukan dengan pengadaan secara prosedur E-purchasing.
  • E-Purchasing adalah tata cara pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog elektronik
  • Untuk obat dan alat kesehatan yang belum ada dalam e-catalog menggunakan proses pengadaan sesuai dengan Peraturan Presiden No 54 tahun 2010 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012.
  • Untuk obat generik dan belum ada dalam e-catalog, dilakukan dengan penunjukkan langsung dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan yang terakhir.
  • Pengadaan yang sifatnya mendesak untuk keselamatan masyarakat dilakukan dengan Penunjukan Langsung dengan negosiasi teknis dan harga (Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 Pasal 38 ayat 4 a3, penunjukkan langsung dapat dilakukan untuk keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera).
  • Penunjukan langsung dilakukan kepada pabrikan atau distributor resmi dari pabrikan tersebut.
  • Untuk pengadaan bukan kebutuhan mendesak, dalam rangka ketersediaan cadangan obat tidak dapat dilakukan dengan penunjukan langsung.
  • Untuk paket-paket sampai dengan Rp. 200 juta lakukan dengan pengadaan langsung dengan negosiasi teknis dan harga.
Dari penjelasan ini sebenarnya sudah sangat jelas apa yang harus dilakukan oleh pokja/pejabat pengadaan terhadap pengadaan obat.




kebutuhan obat yang tidak terdapat dalam e-Catalog ke dalam kategori berikut:
  1. Obat Generik yang sifatnya mendesak untuk keselamatan masyarakat dilakukan dengan Penunjukan Langsung dengan negosiasi teknis dan harga (Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 Pasal 38 ayat 4 a3, penunjukkan langsung dapat dilakukan untuk keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera), kepada pabrikan atau distributor resmi dari pabrikan tersebut. Sebagai patokan HPS dapat digunakan Harga yang tertuang pada SK Menkes 2012. Sebagai catatan penetapan Keadaan Tertentu (Kebutuhan Mendesak) ini sebaiknya ditetapkan oleh pihak yang berwenang menetapkan keadaan tertentu yaitu Kepala Daerah/Menteri.
  2. Obat-obatan yang sifatnya tidak mendesak dilaksanakan melalui pelelangan umum/sederhana dengan menggunakan Pelelangan Itemize seperti yang dilakukan LKPP untuk e-Catalog. Contoh dokumen dapat dilihat disini. Sebagai salah satu patokan HPS dapat digunakan Harga yang tertuang pada SK Menkes 2012.

Kamis, 07 Agustus 2014

Gurihnya sektor rumah sakit


Gurihnya sektor rumah sakit

Rumah sakit merupakan salah satu badan yang bergerak dalam bidang kesehatan sangat berperan penting bagi terciptanya mutu hidup dan lingkungan hidup bagi masyarakat, sehingga tercipta derajat kesehatan yang tinggi baik bagi kesehatan badaniah, rohaniah, maupun sosial.

Sebagai distributor tentunya kita harus menjembatani keinginan dan harapan baik dari principal maupun pihak pelanggan rumah sakit untuk bersama-sama bekerja sama dalam menangani bisnis mulai dari order sampai dengan menjadi tagihan. Bayangkan saja , kontribusi penjualan obat di sector rumah sakit di Indonesia sebesar 42% jika saja sales obat di 2012 sebesar Rp 40 trilyun maka sector rumah sakit beromset sekitar Rp 17 Trilyun pertahun.jika dibagi perbulan maka sekitar Rp1,2 Trilyun penjualan sector rumah sakit di Indonesia.

Apalagi di 2014 sektor rumah sakit akan semakin menggurita dengan adanya BPJS, dimana seluruh pegawai atau masyararakat dapat berobat di rumah sakit dengan Cuma-Cuma.
semua team focus untuk bersama-sama bekerja sama dalam pengelolaan channel rumah sakit agar semua tagihan dapat tertagih sesuai jatuh temponya.

 


 

Rumah Sakit mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan tersebut dapat berupa pelayanan kuratif, promotif, preventif, dan rehabilitatif.

Tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah tetapi peran serta aktif masyarakat, termasuk swasta harus sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak terjadi penyimpangan antara kepentingan atau yang menghambat jalannya pembangunan.


             Rumah sakit merupakan sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, tenaga kesehatan serta penelitian. Namun saat ini rumah sakit bukan hanya fasilitas sarana kesehatan yang bergerak dibidang jasa tetapi juga lebih mengarah seperti perusahaan-perusahaan pada umumnya yakni bertujuan untuk mencari laba
Semakin banyaknya rumah sakit yang dibangun baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, menuntut sebuah rumah sakit untuk siap bersaing baik bersaing dengan rumah sakit dalam negeri maupun bersaing dengan rumah sakit internasional.       

             Banyaknya pemain, tentunya menuntut pihak manajemen rumah sakit harus kreatif sehingga tidak terlindas oleh pesaing. Rumah sakit pemerintah dan swasta juga akan bersaing dengan rumah sakit swasta asing.

a.Rumah Sakit menuju Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014

Meski pemerintah terus menggenjot persiapan pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dimulai Januari 2014, tetapi masih ada beberapa permasalahan yang menghadang, Terutama mengenai kesiapan rumah sakit.
permasalahan  terutama terjadi pada rumah sakit yang belum mampu melaksanakan kendali mutu dan biaya dengan baik.

            Jika melihat kepesertaan masyarakat dalam asuransi atau jaminan kesehatan di 2013 ini masih sangat minim 73.4 juta jiwa (31.18%).

Pada tahun 2012, cakupan jaminan kesehatan di Indonesia telah mencapai 163.547.921 jiwa . Kepersertaan Jamkesmas 78.803.760 jiwa (33,16%), Askes PNS 16.548.283 jiwa (6,69%), JPK Jamsostek 7.026.440 jiwa (2,96%), TNI/Polri/PNS Kemhan 1.412.647 jiwa (0,59%), Asuransi Perusahaan 16.923.644 jiwa (7,12%), Asuransi Swasta 2.937.627 jiwa dan Jamkesda 39.895.529 jiwa (16,79%).

Prediksinya, pada tahun 2014 ditargetkan masyarakat Indonesia telah memiliki jaminan berbagai variasi model (Jamkesmas, asuransi social PNS/Pensiunan dan Veteran, TNI/Polri, Jamkesda, Jaminan kesehatan yang diadakan oleh perusahaan, asuransi swasta komersial dan asuransi lainnya).

jumlah Rumah Sakit yang masuk dalam jaringan pelayanan Jamkesmas , terus meningkat dari tahun ke tahun, termasuk rumah sakit swasta. Sampai tahun 2012 terdapat 502 dari 1.240 rumah sakit swasta yang masuk dalam jaringan pelayanan Jamkesmas

jumlah seluruh rumah sakit di Indonesia sampai Januari 2013 sebanyak 2.083. diperkirakan secara nasional jumlah rumah sakit dapat mencukupi, namun perlu diperhatikan penyebabaran per-kabupaten/Kota dan propinsi. Dengan demikian rumah sakit yang telah terlibat dalam Jamkesmas adalah sebanyak 59,5%.

 

 

b.Pengertian Rumah Sakit

            Berdasarkan UU No 44/2009 mengenai Rumah Sakit, Rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanannya dan pengelolaannya.Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan , Rumah sakit dikategorikan Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusu.

Rumah Sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang-bidang dan jenis penyakit sedangkan Rumah Sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang / penyakit tertentu, misal ; RS.THT khusus pasien penyakit THT

            Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi Rumah sakit public dan rumah sakit private.

RS public dapat dikelola oleh pemerintah pusat/daerah berdasarkan pengelolaan Badan Layanan umum atau Badan Layanan Umum daerah.

RS Private dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan terbatas atau Persero.

 

Dari fungsi dan tugas rumah sakit yang telah disebut kan diatas, terjadilah penggolongan tipe rumah sakit berdasarkan kemampuan rumah sakit tersebut memberikan pelayanan medis kepada pasien.

 

 

 

 

 
Ada 5 tipe rumah sakit di indonesia, yaitu Rumah sakit tipe A, B, C, D dan E :

    *
Rumah Sakit Tipe A


Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi (Top Referral Hospital) atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat.

    *
Rumah Sakit Tipe B

Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap Ibukota propinsi yang menampung pelayanan rujukan di rumah sakit kabupaten.   

* Rumah Sakit Tipe C

Adalah rumah sakit yang mapu memberikan pelayanan kedokeran spesialis terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap ibukota Kabupaten (Regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.

    *
Rumah Sakit Tipe D

Adalah rumah sakit yang bersifat transisi dengan kemampuan hanya memberikan pelayanan kedokteran umum dan gigi. Rumah sakit ini menampung rujukan yang berasal dari puskesmas.

    *
Rumah Sakit Tipe E

Adalah rumah sakit khusus (spesial hospital) yang menyalenggarakan hanya satu macam pelayan kesehatan kedokteran saja. Saat ini banyak rumah sakit kelas ini ditemukan misal, rumah sakit kusta, paru, jantung, kanker, ibu dan anak.
c.Manajemen obat di Rumah sakit

Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis.

 
Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu.

 

Manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari 4 fungsi dasar yaitu

-seleksi

-perencanaan

-pengadaan distribusi  

-penggunaan.

 
Manajemen obat di rumah sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

        

Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi , Formularium dan Pedoman Pengobatan.

Panitia Farmasi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.
 

Formularium dapat diartikan sebagai daftar produk obat yang digunakan untuk tata laksana suatu perawatan kesehatan tertentu, berisi kesimpulan atau ringkasan mengenai obat.

 
Formularium merupakan referensi yang berisi  informasi yang selektif dan relevan untuk dokter penulis resep,penyedia / peracik obat dan petugas kesehatan lainnya.


d.Perencanaan obat di rumah sakit

Perencanaan obat untuk rumah sakit yaitu :

 
DOEN,Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, ketentuan setempat yang berlaku, data catatan medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, siklus penyakit, sisa persediaan, data pemakaian periode yang lalu, atau dari rencana pengembangan.

 
1.Perencanaan yang telah dibuat harus dilakukan koreksi dengan menggunakan metode analisis nilai ABC

 

untuk koreksi terhadap aspek ekonomis, karena suatu jenis obat dapat memakan anggaran besar disebabkan pemakaiannya banyak atau harganya mahal. Dengan analisis nilai ABC ini, dapat diidentifikasi jenis-jenis obat yang dimulai dari golongan obat yang membutuhkan biaya terbanyak. Padadasarnya obat dibagi dalam tiga golongan yaitu golongan A jika obat tersebut mempunyai nilai kurang lebih 80 % sedangkan jumlah obat tidak lebih dari 20 %, golongan B jika obat tersebut mempunyai nilai sekitar 15 % dengan jumlah obat sekitar 10 % - 80 %, dan golongan C jika obat mempunyai nilai 5 % dengan jumlah obat sekitar 80 % - 100%.

 

2.Analisa juga dapat dilakukan dengan metode VEN (Vital, Esensial dan Non Esensial) untuk koreksi terhadap aspek terapi, yaitu dengan menggolongkan obat kedalam tiga kategori. Kategori V atau vital yaitu obat yang harus ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan.

kategori E atau essensial yaitu obat yang terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit atau mengurangi pasienan.

 

kategori N atau non essensial yaitu meliputi berbagai macam obat yang digunakan untuk penyakit yang dapat sembuh sendiri, obat yangdiragukan manfaatnya dibanding obat lain yang sejenis.

 
e.Pengadaan obat di rumah sakit

merupakan kegiatan untuk merealisasikankebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui :
 
1.Pembelian :

a)Secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)

b)Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan

 
Tujuan pengadaan adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar tidak memerlukan waktu dan tenaga yangberlebihan.

 Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah berlaku untuk pengadaan obat di rumah sakit milik pemerintah, pengadaan obat ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Keppres ini, pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilakukan dengan menggunakan:

 a.Penyedia barang/jasa, yaitu dengan menggunakan badan usaha atauorang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa.

b.Pengadaan barang/jasa swakelola, yaitu direncanakan, dikerjakan,dan diawasi sendiri oleh institusi pemerintah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
f. Metode   Pemilihan Penyedia  Barang/ Jasa

1.Pelelangan Umum
Adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui mediamassa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umumsehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuh ikualifikasi dapat mengikutinya. Semua pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya pada

2.Pelelangan Terbatas
Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampumelaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas melalui media massadan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyediabarang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatankepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

3.Pemilihan Langsung
          Dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sertaharus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untukpenerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet, pemilihan langsung dapat dilaksanakan untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp100.000.000,00.

4.Penunjukan Langsung
Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyediabarang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Penunjukan langsung dapat dilaksanakan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut :

1).Keadaan tertentu, yaitu:

a) Penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dankeselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak

b)Pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanandan keamanan negara yang ditetapkan oleh presiden; dan/atau

 
c)Pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp50.000.000,00 dengan ketentuan :

 

(1)Untuk keperluan sendiri; dan/atau

(2)Teknologi sederhana; dan/atau

(3) Resiko kecil; dan/atau

(4)Dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha orang perseorangan dan / atau badan usaha kecil termasuk koperasi