Kamis, 07 Agustus 2014

BPJS bidik penjualan produk obat naik 15%


Adanya BPJS, Farmasi Bidik Penjualan Produk obat 15%
 Naik 15%

Farmasi Indonesia menargetkan pertumbuhan penjualan obat hingga 15% pada tahun ini menyusul ekspansi yang dilakukan sejumlah produsen besar.
sejumlah produsen obat mulai meningkatkan kapasitas produksi guna mengantisipasi meningkatnya permintaan obat pasca-beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan pada 2014.
Beberapa perusahaan farmasi yang mulai melakukan ekspansi, a.l. Kalbe Group, PT Indofarma  dan PT Phapros.“Pada 2014-2015 itu masa transisi BPJS, tetapi banyak perusahaan yang sudah mulai menambah kapasitasnya tahun ini,”
perusahaan farmasi di Tanah Air ingin menambah kapasitas atau membangun pabrik. Namun, rencana tersebut terkendala aturan ketat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM.Secara umum, kondisi pasar obat nasional masih cukup baik, dimana permintaan obat berlabel dan obat generic trennya meningkat.Apabila pada tahun lalu nilai penjualan obat nasional berkisar US$5 miliar, maka pada tahun ini tumbuh 13%-15%.
Secara proporsional penjualan obat masih akan tumbuh 13%-15% pada tahun ini 2014
Indonesia merupakan pasar potensial bagi industri obat dan alat kesehatan.Sejumlah indikator yang jadi patokan adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi, peningkatan jumlah penduduk, serta membaiknya taraf ekonomi dan pendidikan masyarakat.
 
Untuk negara maju mungkin pertumbuhan industri farmasinya rendah, sekitar 3%. tapi untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia bisa 10% atau bahkan 15% hingga 2015 Terlebih dengan penerapan Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan peningkatan mutu dan belanja kesehatan oleh pemerintah menjadi minimal 5% mulai 2014, sebagai peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan industri farmasi.
Tahun ini 2014 perkirakan omzet industri farmasi tembus Rp40 triliun dan 2013 bisa Rp50 triliun lebih. Tahun lalu kan sekitar Rp39 triliun.
pengusaha yang melakukan ekspansi usaha guna menyesuaikan dengan tuntutan keadaan. Hampir separuh dari sekitar 200 anggota GP Farmasi diketahui telah mengembangkan usaha, berupa pembangunan pabrik baru maupun perbaikan mutu.

 

 

3 Fenomena manajemen penjualan


3 FENOMENA MANAJEMEN PENJUALAN

 

Dalam manajemen penjualan, ada tiga fenomena sederhana yang acapkali para manager penjualan kurang perhatikan. Fenomena pertama adalah

1.     Penjualan berbanding lurus dengan sales force size. 

Tapi yang tidak dilihat adalah perbandingan lurus itu sebenarnya tidaklah linier. Artinya penjualan bisa saja naik dari waktu ke waktu tapi akan stagnan di titik tertentu. Hal ini bisa terjadi karena pasar jenuh. Penyebab keduanya adalah adanya penambahan sales force yang belum efektif karena biasanya dalam tahun pertama masih dalam tahap belajar atau carry over.

Sales itu ada dua jenis. Pertama, penjualan yang dihasilkan di tahun itu dari hasil usaha di tahun yang sama. Kedua, penjualan diperoleh dari usaha tahun-tahun sebelumnya, biasa disebut carry over. Positifnya carry over adalah penjualan dijamin stabil, tapi negatifnya jumlah account tidak ada penambahan,

Dalam fenomena pertama ini, sales force cost akan linier dengan sales yang membuat margin semakin lama semakin tipis. Sehingga bila Anda terus menambah sales force, maka tentunya margin akan semkain turun.

2.Fenomena kedua adalah menggunakan indikator sales force cost dibagi dengan total persentase penjualan. Sehingga semakin besar sales force cost, akan linier dengan sales force size.

 ada kecenderungan sales organization tidak menambah orang oleh karena adanya misleading dari indikator tersebut dan melupakan profit optimization.

3.Fenomena ketiga, penggunaan proyeksi short term dalam jangka waktu setahun. Bila Anda menggunakan jangka waktu mengukur penjualan dalam setahun sama artinya mengurangi penetrasi pasar. “Industri di Indonesia kebanyakan berpikir short term, padahal yang ideal untuk mengukur penjualan adalah dalam masa tiga tahun. Tapi bila Anda bertahan pada short term, sebaiknya jangan menambah sales force dengan risiko akan sulit berkembang

 

Rabu, 06 Agustus 2014

Sukses Bisnis Apotik

Sukses Bisnis Apotik
 
Beberapa  persyaratan  yang  harus  diperhatikan  dalam  pendirian apotek  adalah:

Lokasi dan Tempat

Jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.

Bangunan dan Kelengkapan

Bangunan apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi.

Bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiri dari :

  1. Ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang kerja apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan penyerahan obat, tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet.
  2. Bangunan apotek juga harus dilengkapi dengan : Sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang baik, Alat pemadam kebakaran yang befungsi baik, Ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, Papan nama yang memuat nama apotek, nama APA, nomor SIA, alamat apotek, nomor telepon apotek.

 

Perlengkapan Apotek

Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain:

  1. Alat pembuangan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir, gelas ukur dll.    Perlengkapan dan alat penyimpanan, dan perbekalan farmasi, seperti  lemari obat dan lemari pendingin.
  2. Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastik pengemas.
  3. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun.
  4. Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta kumpulan peraturan per-UU yang berhubungan dengan apotek.
  5. Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan resep dan lain-lain.

Prosedur perizinan apotek

Untuk mendapatkan izin apotek, APA atau apoteker pengelola apotek yang bekerjasama dengan pemilik sarana harus siap dengan tempat, perlengkapan, termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat izin apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk membuka apotek di suatu tempat tertentu.

Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

Sesuai dengan Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 7 dan 9 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu:

  1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.
  2. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan.
  3. Dalam hal pemerikasaan dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.
  4. Dalam jangka 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan sebagaimana ayat (3) atau persyaratan ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan surat izin apotek.
  5. Dalam hasil pemerikasaan tim Dinas Kesehatan setempat atau Kepala Balai POM dimaksud (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan surat penundaan.
  6. Terhadap surat penundaan sesuai dengan ayat (6), apoteker diberikan kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak tanggal surat penundaan.
  7. Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan sesuai pasal (5) dan atau pasal (6), atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Dinas setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasan-alasannya.

Strategi Keuangan Apotek

Kalau Anda perhatikan pernyataan keuangan yang di bawah ini, apakah menemukan pola, kejanggalan, atau masalah lain ? Masalah keuangan, adalah masalah klasik yang seringkali menyebabkan kehancuran bisnis distribusi retail obat (apotek).



 


Blue Ocean di Bisnis Apotik


Blue Ocean di Bisnis Apotik


 


Bisnis apotek dapat dibandingkan dengan skala ritel umum atau franchise Mart yang marak mengepung masyarakat. Secara teknis bisnis, apotek membutuhkan manajemen khusus karena diferensiasi serta spesifikasi produk yang kuat pada produknya, produk kesehatan, khususnya obat.

Apotek adalah bisnis,sedangkan profesi apoteker sebagai penanggungjawabnya adalah bentuk pelayanan kesehatan. Lalu, bagaimana mewujudkan sinergi yang baik dari segi bisnis dan pelayanan ? Ya, apotek harus menjadi tempat yang nyaman, leluasa, serta ramah dengan pasien atau konsumen. Ramah, leluasa, dan nyaman ini adalah sebuah personifikasi dari tata letak, pencahayaan, serta tata ruang apotek sehingga pengunjung- yang bisa saja bukan pasien atau konsumen, melainkan pengantar atau keluarga- menjadi betah dan merasa “diterima” dengan baik.Kenapa saya menyebut tata letak pada posisi penting ? Ya, ini adalah kesan pertama yang menjadi sentuhan awal ( first touch) yang memberikan efek psikologis “lebih” dibandingkan dengan suasana yang terkesan kaku dan formal.

Selain aspek desain ruangan serta tata letak, pelayanan yang efisien- tepat guna, serta efektif- tepat sasaran untuk pengunjung- konsumen dari pihak apoteker maupun asistennya akan memberikan sentuhan personal yang membuat mereka “percaya” ( trust) dengan sistem pelayanan apotek. Sifat kepercayaan (trust) ini akan menghasilkan loyalitas ( loyalty) konsumen terhadap apotek yang bersangkutan. Senyuman manis dan pelayanan ramah, serta penjelasan yang mudah untuk dipahami oleh konsumen akan membuat konsumen merasa “diterima” dengan baik, dan tentunya, dimanusiakan.



margin high volume.

Apotek adalah bisnis yang sangat menarik dan akan senantiasa ” basah”. Dengan perhitungan bisnis yang tepat dan kuantitatif, beserta manajemen perubahan yang cepat dan responsif dengan pasar, apotek akan selalu jadi primadona. Karena dari segi marketing, apotek memiliki posisi, diferensiasi, dan apalagi bila memiliki brand kuat, bukan tidak mungkin apotek akan memiliki konsumen loyal dalam komunitas tertentu.

Jika menginginkan sebuah “benteng” bisnis yang kuat, metode pembuatan apotek “franchise” dengan menerapkan sistem jaringan seperti yang digunakan oleh sistem Mart, apotek akan jauh lebih kokoh serta responsif dengan pasar. Sebuah konsep “Drug Store” yang cerdas, lengkap, serta stok yang senantiasa mengalir cepat, tentunya adalah pilihan inovatif dalam kompetisi perapotekan yang terlihat dari grafik akan semakin ketat.

Dari grafik terlihat bahwa tren obat ethical ( dengan resep dokter) terus meningkat, berarti bahwa untuk apotek yang setara dengan bisnis skala ritel, dimana volume akan bicara banyak, prospeknya akan sangat cerah. Jika ingin memperbesar profit, maka apotek juga dapat melakukan diferensiasi dengan peletakan obat OTC ( Over The Counter/ Obat Bebas) pada tempat yang bisa dijangkau oleh konsumen, seperti layaknya swalayan, karena untuk OTC ini memang sifatnya likuid.

Apotek juga harus memainkan strategi basis data konsumen, untuk mengikat konsumen loyal, selain strategi low



Serapan pasar obat di Indonesia memang kecil, bahkan salah satu yang terkecil di Asia Tenggara. Namun potensi pasar Indonesia hampir setara dengan Cina dan India. Nah, dari grafik terlihat bahwa potensi “tidur” ini sudah mulai “terbangun”, walaupun sangat pelahan, intinya, pasar apotek adalah sebuah samudera biru yang belum terlalu banyak pemain bermain di dalamnya. Ini adalah sebuah peluang emas! Bagaimanapun, samudera merah, dengan pertarungan berdarah- darah karena pertarungan antar pemain tidak akan menyenangkan bagi penyuka kemapanan, karena dibutuhkan inovasi terus menerus beserta responsivitas tinggi terhadap pasar.

Trade off yang ada saat ini adalah, bagaimana cara membangunkan potensi pasar obat raksasa yang dimiliki oleh Indonesia ? Dan inilah yang menarik dari bisnis bukan ? High Risk High Return, always, business as usual!

Intinya adalah, bagaimana membuat sebuah wujud apotek yang humanis, bersih, ramah, serta memudahkan dan memanusiakan konsumen lengkap beserta penjelasan yang komunikatif dan memudahkan mereka mengenai produk kesehatan. Pelayanan ini harus bersama dengan sistem bisnis yang kuat, responsif dengan pasar, serta memiliki strategi brilian untuk membangunkan potensi pasar saat masih tertidur dan bersaing dengan pemain lain manakala konsumen telah tercerdaskan.

 



 


Segarnya Bisnis Obat di Indonesia

Segarnya Bisnis Obat di Indonesia
Menilik dari sejarahnya, sebenarnya industri farmasi kita berasal dari berkembangnya Pedagang Besar Farmasi ( PBF ) dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita menyaksikan industri farmasi yang memiliki fasilitas manufaktur seperti sekarang ini, sebenarnya hal itu baru berkembang sekitar tahun 1970-an.

Sekarang tantangan berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga mengimbas ke perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor obat, terutama dihadapi oleh kalangan distributor lokal yang memiliki daya saing rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.

Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya 196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1 distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.

Ketidakseimbangan ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian obat. Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang baik) tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas obatnya pun tidak lagi terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup melaksanakan GDP (good distribution practice).

Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.

Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60 pabrik obat menguasai lebih dari 80% total pasar, sedangkan 20% sisanya diperebutkan oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu perbandingan antara perusahaan lokal dan multinasional masih 60 berbanding 40. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk lemahnya skala ekonomi distributornya, sehingga tak heran bila harga obat di Indonesia bisa begitu melangit.

Peningkatan jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat mendirikan PBF sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah, sebaliknya malah berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.

Perusahaan-perusahaan distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh aplikasi TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik terpenuhi, karena volumenya sangat besar, sehingga meski mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan.Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih antara 11-12% dan tergantung pada beberapa faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak mampu bersaing dengan baik.Pada tahun 2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.

Hanya saja, 31 pabrik obat yang berstatus PMA ini tak kurang menguasai sekitar 50% pangsa pasar farmasi nasional. Hal ini masih ditambah lagi dengan terjadinya merjer dan akuisisi sejumlah pemain regional dan global, sehingga semakin menyulitkan perusahaan-perusahaan lokal untuk bersaing di pasar yang diperkirakan sebesar 17 triliun rupiah itu. Belum lagi, kalangan pabrik obat nasional pun masih besar ketergantungannya terhadap impor bahan baku obat mancanegara, yang berarti semakin meningkatkan tekanan terhadap pabrik obat dalam upaya menyediakan obat-obatan yang terjangkau.

Dibukanya pasar AFTA (ASEAN Free Trade Area), yang merupakan harmonisasi perdagangan di kawasan ASEAN, ternyata masih menyisakan persyaratan, seperti pelaksanaan current GMP (c-GMP), diharuskan adanya penelitian terhadap BA-BE Studies (Bio-Availability_Bio-Equivalent) untuk obat-obat tertentu yang akan dipasarkan di negara-negara ASEAN. Hal itu boleh jadi akan memberikan, baik peluang maupun ancaman, bagi industri farmasi di Indonesia.

Pada sisi pandang masyarakat luas ( konsumen), Konsumen obat di Indonesia selama ini tidak pernah mendapat informasi jelas mengenai harga obat. Pasien selalu hanya menerima secarik kertas resep dari dokter —yang tulisannya tak terbaca— kemudian harus menukarkannya dengan obat di apotek dan diharuskan membayar sejumlah uang. Tidak pernah ada perincian harga obat dengan jelas. Dari satu apotik ke apotik lain, harga obat bisa berubah-ubah. Maka tak heran kalau banyak yang lari ke pasar obat bebas alasannya, di sana lebih murah.

Obat dalam pandangan masyarakat merupakan suatu produk sosial yang harus berharga murah dan pihak industri tidak boleh mengambil untung terlalu banyak. Namun apa mau dikata, pada kenyataannya di Indonesia, obat justru suatu produk yang kadang hanya bisa dijangkau oleh lapisan tertentu. Kalaupun ada obat yang ”murah meriah” terbukti tidak semujarab obat yang berharga mahal. Penyakit-penyakit berbahaya yang butuh penanganan khusus seperti kanker justru memerlukan obat impor yang harganya mahal.

India, kendati tergolong negara berkembang sama seperti Indonesia, terdapat sekira 13.000 pabrik farmasi yang mendapat subsidi pemerintah sebanyak 30-40 persen. Jumlah pabrik obat di Indonesia hanya sekira 196 buah, termasuk empat perusahaan milik negara dan 34 perusahaan asing (PMA), sedangkan sisanya merupakan perusahaan swasta lokal.




Dari jumlah ini, 60 perusahaan di antaranya menguasai kurang lebih 84 persen pangsa pasar. Sedangkan perbandingan antara perusahaan obat lokal dan multinasional masih 60 banding 40. Dan total keseluruhan perusahaan farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya tiga persen saja dari total jumlah pabrik obat di seluruh dunia. Gambaran tersebut bisa menunjukkan betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia.

Namun, bukan berarti bahwa industri farmasi established cukup mempertahankan pasar, ingat bahwa persaingan perdagangan bebas tingkat ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi industri farmasi sudah dimulai pada bulan Juni tahun ini. Otomatis perusahaan farmasi lokal harus berani bersaing dengan perusahaan asing yang juga akan mengedarkan produk obatnya di Indonesia. Namun ada kunci- kunci yang harus dipegang oleh perusahaan farmasi agar mampu tetap mampu berkompetisi dan memenangkan persaingan

Kelola Piutang secara efektif

Mengetahui seberapa efektif anda dalam mengelola piutang dagang, sangat penting bagi pengelolaan keuangan perusahaan secara keseluruhan.

Pertanyaan yang sama bisa diterjemahkan sebagai: “seberapa efektif kebijakan kredit yang anda terapkan selama ini sehingga mampu meningkat penjualan di satu sisinya, dan seberapa mampu anda dalam mengkonversikan piutang menjadi kas untuk menopang kelancaran operasional perusahaan, di sisi lainnya.

Dengan kata lain, mengetahui seberapa efektif pengelolaan piutang dagang dalam suatu perusahaan menjawab pertanyaan: seberapa efektif tatakelola keuangan perusahaan dalam mendukung kelancaran operasional perusahaan secara keseluruhan?

Dalam perusahaan berskala besar, tugas pengelolaan keuangan mungkin ditangani oleh bagian keuangan (treasury), tetapi di perusahaan-perusahaan berskala kecil hingga menengah, tugas ini biasanya jatuh ke bagian accounting, termasuk urusan piutang dagang. Sehingga, kemampuan mengelola piutang dagang sangat perlu dikuasai oleh mereka-mereka yang bekerja di kedua bagian ini (treasury dan accounting).

Di bagian accounting itu sendiri, urusan piutang dagang biasanya ditangani oleh bagian khusus yaitu “Accounts Receivable” tentunya di bawah pengawasan chief accounting maupun controller.
Untuk menjawab pertanyaan “seberapa efektif anda dalam mengelola piutang dagang perusahaan” sudah pasti anda perlu melakukan assessment (pengukuran atau pengujian) dengan menggunakan parameter, indikator dan metode tertentu yang bisa mengarahkan anda pada kesimpulan tersebut.

Mengelola Piutang  Secara Efektif

Dalam mengelola piutang dagang, ada dua hal yang paling dihindari:
1. Piutang Tak Tertagih (bad debt) – Yang satu ini memang mimpi buruk paling menakutkan. Perusahaan sesehat apapun akan kolaps bila memiliki bad debt yang tinggi.

2. Piutang Lewat Jatuh Tempo (Overdue Receivable) – Pembayaran yang melewati jatuh tempopun bisa menjadi parasit dapat menggerogoti kesehatan keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Yang manapun terjadi diantara kedua siatuasi tersebut, akan memaksa perusahaan untuk melakukan salah satu diantara ketiga tindakan berikut ini:
  • Mencari pinjaman bank (bank loan) guna menutupi kebutuhannya akan kas, yang sudah pasti disertai beban bunga yang harus ditanggung perusahaan; atau
  • Menurunkan kapasitas perusahaan dalam menghasilkan barang atau jasa—sehingga pendapatan, langsung-atau-tak langsung juga akan tergerus; atau
  • Kombinasi keduanya.
Dengan mindset dasar itu, PBF dan para pengelolanya cenderung untuk MEMAKSIMALKAN usaha-usaha untuk mencegah piutang tak tertagih maupun piutang lewat jatuh tempo, atau mengatasinya bila sudah terlanjur terjadi.

Dua pendekatan yang paling umum dilakukan untuk mencegah piutang tak tertagih dan piutang lewat jatuh tempo, yaitu:

1. Melakukan tindakan penagihan yang agresif – Mengunjungi pelanggan  secara terus menerus— untuk tukar faktur atau proses adm seperti returan.

2. Menerapkan kebijakan kredit yang lebih ketat – Bila di masa lalu menyediakan kredit 37 hari bagi semua pelanggan, untuk mencegah kemungkinan bad debt mungkin perusahaan mempersempit termin pembayaran menjadi hanya 30 hari. Lebih ekstrimnya, mungkin PBF hanya melayani COD (cash on delivery) atau pembelian tunai saja.

Kedua pendekatan tersebut memang sangat ampuh untuk mencegah (atau mengatasi) piutang tak tertagih maupun piutang lewat jatuh tempo. AKAN TETAPI, bila dilakukan secara berlebihan—TANPA memperhitungkan ASPEK LAIN, perusahaan bisa terjebak dalam suatu keadaan yang mungkin samasekali tak pernah mereka duga sebelumnya.

Penerapan kebijakan kredit yang ketat dan tindak penagihan yang agresif, berimplikasi langsunng terhadap penjualan yang pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap pendapatan dan laba-rugi di akhir periode.


TATA KELOLA PIUTANG DAGANG YANG EFEKTIF,

 adalah pengaturan piutang dagang yang MENYEIMBANGKAN antara:
 (a) usaha-usaha untuk mencegah piutang tak tertagih dan piutang lewat jatuh tempo—guna memenuhi kecukupan kas di satu sisinya
 (b) usaha-usaha untuk meningkatkan penjualan—dengan memberikan pengalaman yang nyaman bagi customer dan menyediakan termin pembayaran yang competitive di lingkungan business secara luas di sisi lainnya.

Pertanyaan krusialnya menjadi: apakah tata kelola piutang dagang yang anda terapkan selama ini sudah tergolong efektif atau tidak? Apakah kebijakan kreditnya terlalu ketat atau terlalu longgar?
Untuk mengukur sejauh mana EFEKTIFITAS TATA KELOLA PIUTANG dagang yang telah atau sedang diterapkan, perlu dilakukan assessment seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan. Bagaimana caranya mengukur efektifitas tata kelola piutang dagang?

Ada 2 metode pengujian yang umum dipakai untuk menilai efektifitas tata kelola piutang dagang, yaitu:
  • Rasio Perputaran Akun Piutang Dagang (Accounts receivable turnover); dan
  • Rasio Periode Penagihan Rata-rata (Average collection period)
Menggunakan Rasio Perputaran Piutang Dagang (Accounts Receivable Turnover)

Menggunakan “Rasio Perputaran Piutang Dagang” atau “Accounts Receivable Turnover” artinya, anda sedang mencoba untuk mengetahui: berapa kali, dalam periode tertentu, piutang dagang anda mengalami perputaran. Dengan kata lain, rasio perputaran piutang dagang mengukur berapa kali piutang dagang yang telah jatuh tempo berhasil ditagih, lalu digantikan oleh piutang yang baru.

“Rasio Perputaran Piutang Dagang” dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

Rasio Perputaran Piutang Dagang = Penjualan / Rata-Rata Piutang
Yang dimaksudkan dengan “Penjualan” dalam formula ini adalah: total nilai penjualan untuk periode yang diukur, 1 Jan s/d 31 Des 2014 misalnya. Sudah sangat jelas, tidak ada masalah—anda bisa mengetahui total penjualan dari buku besar “Penjualan.”

Sedangkan “Rata-rata Piutang” adalah: Rata-rata saldo piutang untuk periode yang sama. Menghitung nilai rata-rata ini yang kadang menjebak.
Dalam menghitung rata-rata saldo piutang, terkadang seseorang hanya menggunakan “saldo awal” dan “saldo akhir” piutang, dijumlahkan, lalu dibagi dua. Misalnya: Yang diambil hanya saldo piutang dagang per 31 Januari ditambah saldo piutang dagang per 31 Desember, lalu dibagi dua. Cara ini akan menghasilkan nilai rata-rata piutang yang tidak tepat.
Cara terbaik untuk menghitung nilai rata-rata piutang adalah dengan jalan: menjumlahkan semua saldo piutang disepanjang periode (dari 31 Jan + 28 Feb + 31 Mar…. dan seterusnya hingga 31 Desember), lalu dibagi total bulan—atau 12 jika perusahaan menggunakan periodisasi tahunan.

Contoh Kasus:
Perusahaan  PT. DONNI, di tahun 2013, membukukan nilai penjualan sebesar 250,000,000 dengan saldo piutang dagang per bulan sebagai berikut:

Seperti terlihat di atas, dengan hanya menggunakan saldo awal (per 31-jan) dan saldo akhir (31-Des) saja, anda akan menghasilkan rata-rata saldo piutang sebesar Rp 5,500,000 saja, dan itu samasekali tidak akurat. Sedangkan dengan menjumlahkan semua saldo piutang sepanjang periode anda akan memperoleh rata-rata saldo piutang sebesar Rp 8.875,000, yang lebih akurat dan mendekati kondisi yang sebenarnya.

Nah, berdasarkan informasi tersebut, anda bisa menghitung “Rasio Perputaran Piutang Dagang.” sebagai berikut:
Rasio Perputaran Piutang Dagang = Penjualan / Rata-rata Piutang
Rasio Perputaran Piutang Dagang = Rp 250,000,000/Rp 8,875,000
Rasio Perputaran Piutang Dagang = 28
“Rasio Perputaran Piutang Dagang” sebesar 28 artinya: piutang PT.DONNI rata-rata beputar sebanyak 28 kali pada periode 2012.

Mengkonversikan Perputaran Piutang Ke Periode Penagihan Rata-Rata

Jika tidak terbiasa dengan istilah “perputaran” (banyak koq yang tidak terbiasa dengan istilahyang satu ini), anda bisa mengkonversikan “Rasio Perputaran Piutang Dagang” menjadi angka yang menunjukan jumlah hari yang diperlukan untuk menagih piutang dengan melakukan perhitungan yang disebut dengan “Rasio Periode Penagihan Rata-Rata” (Average Collection Period)—mungkin ini ini lebih mudah dipahami.

“Rasio Periode Penagihan Rata-Rata” dihitung dengan cara: membagi angka 365 atau 360 (jumlah hari dalam setahun) dengan “Rasio Perputaran Piutang”. Jika ditulis dalam bentuk formula, jadinya sebagai berikut:

Periode Penagihan Rata-Rata = 365/ Rasio Perputaran Piutang

Dengan menggunakan contoh sebelumnya, maka periode penagihan rata-rata PT. DONNI untuk tahun 2012 adalah sekitar 13 hari (=365/28). Itu artinya PT. DONNI, rata-rata butuh waktu 13 hari untuk melakukan penagihan piutang di tahun 2012.

Pertanyaannya: Apakah rasio perputaran putang sebanyak 28 kali dalam setahun itu tergolong efektif atau tidak? Apakah dengan periode penagihan rata-rata selama 13 hari itu tergolong efektif atau tidak?

CARA YANG PALING MUDAH untuk mengukur hal ini adalah dengan: membandingkan RASIO SAAT INI dengan RASIO YANG SAMA DI PERIODE SEBELUMNYA (tahun 2011 dalam kasusnya PT.DONNI.)

Nah, jika di tahun 2011, rasio perputaran piutang dagang-nya PT. DONNI hanya 12 kali (atau butuh waktu sekitar 30 hari untuk melakukan penagihan) misalnya, itu artinya rasio perputaran piutang maupun periode penagihan rata-rata PT. DONNI di 2012 jauh lebih baik dibandingkan di tahun 2011.

 Dengan kata lain: perputaran piutang di 2012 lebih sering dibandingkan tahun sebelumnya, dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penagihan lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya.
Pertanyaan selanjutnya: Apakah perputaran yang lebih sering artinya sudah pasti lebih efektif? Apakah periode pangihan yang lebih cepat juga sudah berarti lebih efektif?


TETAPI, percepatan ini biasanya hanya bisa dicapai dengan 2 cara, yaitu

 (a) memperketat kebijakan kredit
 (b) menerapkan tindak penagihan yang lebih agresif—yang sudah pasti akan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap “Penjualan”.

Untuk memastikan hal itu, tentunya anda tidak bisa hanya berandai-andai atau berasumsi. Sebagai seorang akuntan atau orang keuangan, anda sebaiknya melakukan analisa data yang cukup. Salah satu analisa yang bisa dilakukan adalah “Trend Analysis”—dengan cara membandingkan “Penjualan saat ini” dengan penjualan-penjualan tahun sebelumnya—lihat trend-nya SAMA, MENINGKAT atau MENURUN?

Nah jika hasil analisa menunjukan bahwa penjualan anda BAIK-BAIK SAJA, maka bisa dipastikan bahwa rasio perputaran putang dan rasio periode penagihan rata-rata perusahaan anda SUDAH EFEKTIF. Artinya, juga, TATA KELOLA PIUTANG DAGANG yang anda terapkan selama ini sudah efektif
TETAPI, jika hasil analisa menunjukan hal sebaliknya, berarti masih ada banyak hal yang perlu anda lakukan. Kemungkinan penyebab menurunnya penjualan TIDAK SELALU, TIDAK MESTI, ada hubungannya dengan kebijakan kredit maupun cara-cara penagihan yang anda terapkan. Anda juga perlu memeriksa:
  • Waktu penyerahan obat – apakah tepat waktu atau molor-molor?
  • Kualitas pelayanan terhadap pelanggan (diluar penagihan) – Apakah menurun atau tidak?
  • Kualitas produk yang dijual oleh pesaing—apakah mengingkat atau tidak?
  • Kondisi ekonomi makro—apakah membaik atau memburuk?
  • Dan seterusnya.
Dan, diantara kemungkian faktor penyebab tersebut, sekalilagi, bisa jadi kebijakan kredit dan proses penagihan piutang adalah salah satunya.

Cara lain yang bisa dilakukan untuk melakukan pengukuran terhadap efektifitas tata kelola piutang dagang adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan “Benchmarking”—yaitu: membandingkan rasio perputaran piutang anda dengan rasio yang sama, di periode yang sama, dari perusahaan lain yang sejenis. Dari sana anda bisa melihat seberapa bagus anda dalam mengelola piutang dagang—jika dibandingkan dengan perusahaan lain.






 

Selasa, 29 April 2008

TATA NIAGA OBAT DI RS SWASTA

Pertumbuhan rumah sakit terutama swasta sangat pesat apalagi di 2 tahun terakhir banyak sekali bermunculan rumah sakit baru. Menurut data GP Farmasi sampai awal 2008 ini, jumlah keseluruhan rumah sakit yang ada di Indonesia sekitar 1300 rumah sakit dengan berbagai klasifikasi (RSU milik pemerintah, RSU Swasta dan RS Khusus)

Pertumbuhan yang pesat ini berkorelasi dengan meningkatnya kebutuhan orang akan kesehatan yang baik dan semakin sadar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lengkap dan diharapkan dapat terjangkau semua lapisan masyarakat.

Tidak lupa rumah sakit meningkatkan kualitas pelayanan dengan mendapatkan sertifikat Akreditasi, pelaksanaan Total Quality Management, Performance measurement system, dan Audit Hospital. untuk tetap menjaga mutu pelayanan medis berstandar internasional.

Penanganan bisnis inipun bergeser menjadi profit centre oriented sehingga investor rumah sakit akan melakukan strategi agar mendulang keuntungan yang berlimpah.

Gambaran bisnis obat di Indonesia 2006-2007
TAHUN
SALES (dalam Rp Trilyun)
Growth
2006
26.5
2007
29
9.43%
Sumber GP Farmasi

Kontribusi penjualan obat di tiga sektor dalam bisnis Obat di Indonesia ; Rumah Sakit adalah 51% , 46% di Apotik dan sisanya 3 % melalui dispensing dokter (Apotik Panel yang berkerjasama dengan klinik atau praktek dokter)

Tahun 2007 penjualan obat di sektor rumah sakit mencapai Rp 15.Trilyun pertahun.
Atau dengan omset perbulan Rp 1.2 Trilyun ini
Tata Niaga Obat di RS.Swasta

Ada 5 hal yang baru dalam pola baru manajemen bisnis obat di rumah sakit swasta:

1.Standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan kewajiban donasi obat
.
Standarisasi obat atau Formarium pada awalnya adalah untuk mengatur peredaran obat dengan memberikan kebebasan farmasi untuk mempromosikan produk ke komite medik mengenai keunggulan obat agar masuk dalam komposisi obat formarium rumah sakit yaitu tiga jenis obat: satu obat original, dua produk me too dan satu obat generik.

Hal yang menonjol adalah sedikitnya penggunaan obat generik yang masuk standart, kemungkinan harga obat generik belum memenuhi skala ekonomis bagi rumah sakit swasta padahal termasuk obat esensial yang harus ada di setiap layanan kesehatan, sebagai gantinya rumah sakit mengganti obat sejenis yang bermerek yang harganya mahal.

Dengan keharusan membayar setiap obat bermerek maka menciptakan suatu pasar oligopoli karena mengedepankan farmasi yang bisa melakukan hal ini , padahal hampir semua prinsipal farmasi terbentur kode etik global yang mengharamkan cara ini.

2.Sistem Pembelian Group

Pemberian diskon oleh pihak farmasi biasanya berdasarkan kuantitas unit pembelian di sebuah rumah sakit.
semua rumah sakit yang menjadi group mendapat harga yang sama artinya diskon akan sama semua walaupun masing-masing group nilai pembeliannya berbeda-beda.

Sistim yang sangat menguntungkan karena berpatokan kepada diskon terbesar yang didapati oleh salah satu rumah sakit group yang pembelian besar dan menjadi discount di semua group yang dimiliki walau berada di propinsi yang berbeda.


3.Sistem pembelian obat dengan Konsinyasi

Beberapa rumah sakit bahkan rumah sakit pemerintahpun sudah menerapkan sistim ini.
pembelian konsinyasi ke distributor dengan jangka waktu pembayaran 60 hari dan setelah obat laku maka akan diproses pembayaran, jika tidak laku berhak meretur obat .
Jika distributor berberatan dengan konsinyasi, jangan harap prinsipal farmasi dapat mengembangkan pasarnya.

4.Kerjasama dengan Prinsipal farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan memberikan “advance discount” ke Rumah Sakit selama periode tertentu.

Hampir semua rumah sakit swasta sudah menjalankan “kontrak discount dibayar dimuka” ini, setiap pabrikan akan dipanggil oleh manajemen rumah sakit untuk melakukan kontrak obat selama satu tahun dengan membayar uang discount di muka/advance discount.

Menurut sumber dari beberapa rumah sakit terkemuka, system advance discount ini sebuah rumah sakit besar dapat menghimpun dana rata-rata minimal 2.5 milyar pertahun dari kontrak obat.

Dari tabel diatas dapat dilihat sebuah RS.Peluk menerima advance discount dari prinsipal A dan B total Rp 240 juta dengan perjanjian kesepakatan produk prinsipal A dan B akan dikontrak beli perbulan sebesar Rp 100 juta dan pertahuan Rp 1,2 M

5.Resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi Rumah Sakit

Biasanya jika berobat di rumah sakit, pasien akan mendapat resep yang bebas ditebus apakah di rumah sakit tersebut atau di apotik dekat rumah pasien.

Sistim ini sudah dijalankan beberapa RS Swasta, dokter akan meresepkan obat dengan memberikan resep yang hanya bisa dibaca dengan “kode” oleh pihak rumah sakit saja, ada pula yang memberikan kartu setelah berobat untuk mengambil obat di farmasi RS.

tujuan utama memang mengkandangkan resep agar tidak keluar ke apotik disekitar, sungguh ironi bagi pasien berbiaya sendiri yang tentunya harga obat akan ahal disbanding beli di apotik dan juga bagi apotik-apotik diseputaran rumah sakit yang akan mengalami sepi resep pasien.

Dukungan Pemerintah

Trend RS Swasta di Indonesia yang mengekang kebebasan pihak farmasi untuk mengembangkan pasarnya sudah berjalan lama dihampir seluruh RS Swasta di Indonesia.

Bisnis RS Swasta memang hanya dikuasai oleh 5 obat branded saja yang bersedia untuk kerjasama dengan komite medik ditenggarai menganut system oligopoly.

Pasar globalisasi seharusnya memberikan kebebasan untuk bersaing sempurna tidak diterapkan.

Tujuan RS Swasta menerapkan pola ini untuk mendapakan keuntungan besar , dapat lebih cepat mengembangkan rumah sakitnya dan segera balik modal usaha / BEP.

Strategi bisnisnya tidak lagi melihat sebagai institusi kesehatan yang ada etika,  nilai sosial & norma-norma pelayanan masyarakat.

praktek ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan harga obat lokal lebih mahal daripada obat produk luar. Sudah tentu biaya-biaya yang dikeluarkan produsen obat lokal dalam meloby untuk masuk pasar RS Swasta dibebankan ke konsumen yaitu pasien.

Sebetulnya aturan sudah tertulis pada nota kesepakatan antara IDI dengan GP Farmasi dalam tindakan pengobatan yang bebas tanpa kontrak dengan prinsipal tertentu untuk melegalkan pelaksanaan bisnis kesehatan tetapi bagai merapihkan benang kusut, sungguh sulit menerapkan pasar persaingan sehat di Rumah Sakit.

Dari aspek persaingan usaha yang tidak sehat ini, seyogyanya Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Menkeu, MenDag dan Menkes dapat melakukan kebijakan regulasi bisnis rumah sakit yang sehat dan tepat serta menghindari penggunaan obat merek tertentu dengan sistem kontrak dan mengupayakan melakukan etika bisnis yang sehat.

Pemerintah harus segera membenahi sistim tata niaga obat di sektor rumah sakit, jika tidak ada itikad baik maka otomatis industri obat akan amburadul.

Perlu sekali kebijakan publik yang dikeluarkan langsung oleh Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan/Perindustrian dan Menteri Kesehatan untuk pengaturan bisnis obat secara keseluruhan dan terutama di rumah sakit Indonesia yang berlandaskan Ekonomi Pancasila dengan fokus utama persaingan obat secara Pancasila di instansi rumah sakit sehingga menurunkan harga obat secara maksimal.
dalam mengawasi persaingan usaha ini apakah ada pelanggaran UU NO 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

pilihan baik juga untuk mendirikan Rumah Sakit di dekade ini, investasi yang ditanamkan dapat segera BEP dengan pembebanan ke pihak farmasi walaupun segelintir perusahaan farmasi dan rumah sakit pasti dapat untung.
Nah, siapa yang berminat membuka Rumah Sakit?

salam hangat,
DONORA