System INA CBGs BPJS ke perusahaan Farmasi?
Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) pada tanggal 1 Januari, 2014, JKN menerapkan Teknik Managed care dengan sistem pembayaran “Kapitasi dan INA CBGs” .Tarif INA CBGs sudah menggunakan konsep tarif Rumah Sakit yang lebih rasional, kalau tarif RS masih menggunakan strategi tarif komersial maka program JKN akan sulit berkembang. Tarif RS yang meretailkan semua komponen tarif berakibat tarif akhir tindakan medis menjadi sangat mahal.
Dengan konsep INA CBGs ini seharusnya mempermudah RS menerima pembayaran dari BPJS untuk pembelian obat ke distributor farmasi dan tentunya RS akan lebih cepat lagi dalam pembayaran ke distributor.
Selama ini ada beberapa RS pemerintah provider BPJS yang pembayaran melebihi dari batas jatuh tempo faktur distributor.Sesuai UU No 24 tahun 2011 yang mengatur pola pembayaran BPJS, keterlambatan pembayaran BPJS ke Rumah Sakit provider BPJS itu didenda 1% dari total tagihan claim Rumah Sakit Provider BPJS.
untuk menghindari keterlambatan bayar terhindar denda 1% dari total tagihan, BPJS Kesehatan melakukan pembayaran uang muka 50% dari total claim yang masuk.bahkan untuk menghindari risiko sebelum masa jatuh tempo pembayaran claim atau tagihan RS provider BPJS , pihak BPJS juga menambah sampai 25% lagi.
Sehingga selama poses verifikasi claim pihak rumah sakit yang mengajukan claim bisa mendapatkan dana likuiditas 75%, dari Batas pembayaran claim 15 hari sejak masuknya claim ke BPJS Kesehatan.
Suksesnya JKN tentunya perlu dukungan semua pihak baik pemerintah, pemberi pelayan kesehatan , principal/perusahaan farmasi dan distributor obat sebagai eksekutor proses pelayanan ke RS Provider BPJS.
Hambatan provider BPJS Rumah Sakit ke distributor farmasi :Beberapa RS pemerintah provider BPJS pembayaran tidak sesuai jatuh tempo yang diberikan pihak distributor, kendala utama adalah dokumen claim yang diberikan oleh RS provider BPJS ke kantor BPJS tidak/kurang lengkap.
Persyaratan utama BPJS membayar claim adalah resume dokter yang memeriksa pasien sesuai dengan penginputan / Kodingdi system icd-10 yang diinput pihak RS, jika kurang lengkap hasil verifikator BPJS maka dokumen akan dikembalikan BPJS ke RS provider untuk dilengkapi BPJS sehingga pembayaran mundur tidak tepat waktu.
Saran yang dapat diberikan ke pemerintah melalui kemenkes atau BPJS agar program JKN dapat lebih baik dari tahun sebelumnya :
1.Proses system pembayaran RS provider BPJS ke distributor agar diperbaiki untuk selalu tepat waktu. kendala yang terjadi di internal RS dengan BPJS yakni verifikasi tidak sesuai, resume dokter belum lengkap dan pengkodean belum lengkap lebih cepat ditangani oleh BPJS . jika diperlukan dibentuk “team crisis centre “oleh BPJS dan kemenkes untuk mempercepat proses pembayaran ke RS provider sehingga tagihan dapat dibayar tepat waktu.
pihak perusahaan farmasipun dapat melakukan kontrol terhadap proses internal RS provider BPJS terhadap faktur-faktur claim atau tagihan di RS yang akan ditagihkan atau claim ke kantor BPJS. alangkah baiknya pihak RS membentuk SAMSAT (Seperti sistem STNK/pajak) pembayaran tagihan khusus BPJS sehingga semua serba terukur , cepat, jelas dan transparant.
2.Untuk lebih mendukung proses pembayaran RS provider BPJS ke distributor mengikuti mekanisme pembayaran kapitasi, artinya pihak BPJS dapat mengusulkan perubahan penambahan account dalam pembayaran dimuka 50% tidak hanya ke rumah sakit provider BPJS saja tetapi juga ke distributor obat. System pembayaran BPJS ke tiap-tiap distributor ini dilihat dari historical pembelian tiap-tiap rumah sakit ke distributor obat.
3.Untuk antisipasi ketersediaan stock obat produk BPJS, pihak kemenkes mewajibkan forecast stock atau Rencana Kebutuhan Obat per tahun ke provider BPJS agar stock dapat disiapkan dan diproduksi dengan baik oleh pabrik farmasi.
Kemenkes atau BPJS wajib selalu memantau , mengingatkan dan mengevaluasi secara simultan dengan baik rs / puskesmas provider BPJS ini untuk wajib memberikan informasi Rencana kebutuhan obat atau forecast pertahunnya yang selanjutnya data tersebut diberikan ke principal atau pabrik farmasi untuk disiapkan produksi.
4.Rencana kebutuhan obat tersebut wajib dijalankan menjadi PO (purchasing order) via ecatalog sejak awal tahun oleh RS provider BPJS sehingga estimasi stock obat milik principal atau perusahaan farmasi akan cair secara periodik
Donni Noviandi Rafdi
"Project Manager e’purchasing Rumah Sakit PERSI (Perhimpunan RS Indonesia) 2001-2003"
Dosen Pemasaran di Akademi BSI dan STIA Kawula Indonesia
Lektor , NIDN 0325117404
Tidak ada komentar:
Posting Komentar